Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Agus Mulyono Herlambang, menilai pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja sangat terburu-buru.
Menurut dia, terburu-buru pengesahan itu terlihat mulai dari pembahasan UU Cipta Kerja di masa pandemi Covid-19, dimasukan sidang paripurna sampai saat sudah disahkan naskah UU Cipta Kerja.
“Dari sini saja terlihat UU Cipta Kerja cacat formil. Semoga saja tidak mengubah secara diam-diam pasal-pasal yang telah ada sebelumnya,” kata Ketua Umum PB PMII, Agus Mulyono Herlambang, Minggu (11/10/2020).
Baca: Politikus PKS Nilai Wajar Hoaks UU Cipta Kerja Bertebaran Karena Naskah Aslinya Belum Ada
Agus menjelaskan undang-undang yang disahkan secara buru-buru tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat, serta dapat dianggap sebagai cacat hukum formil dan material.
Baca: Heboh Anak Sultan Ikut Demo UU Cipta Kerja, Outfitnya Mahal, Helm Hingga Sarung Tangan Jutaan
Dia menjelaskan, cacat material berkaitan dengan subtansi UU sedangkat cacat formil berkaitan dengan prosedur pembuatan UU.
“Sungguh luar biasa UU Cipta Kerja yang hampir seribu halaman itu cukup singkat pembahasannya di DPR, dan disahkan dengan begitu cepat. Alhasil draf UU Cipta Kerja setelah disahkan masih harus di finalisasi bahkan anggota DPR pun belum menerima draf UU Cipta Kerja,” tuturnya.
Baca: Sebut Jokowi Angkat Isu Tak Relevan, WALHI Curiga Presiden Belum Baca Draf UU Cipta Kerja
Agus mengatakan UU Cipta Kerja tidak menciptakan birokrasi pemerintahan yang baik atau good governance.
Sebab, untuk mewujudkan itu, UU Cipta Kerja harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni kepastian hukum, kemanfataan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik.
Namun, jika dilihat yang terjadi dalam pengesahan UU Cipta Kerja, Agus mengatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas-asas diatas, diantaranya DPR dalam pembentukannya tidak terbuka saat melakukan pembahasan UU Cipta Kerja.
Baca: FPI, GNPF, PA 212 dan Puluhan Ormas Akan Gelar Aksi Tolak UU Cipta Kerja di Istana Negara
Lalu, menurut dia, sebelum disahkan pun UU Cipta Kerja masih melakukan finalisasi agar tidak ada typo, hal ini berarti DPR tidak cermat dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Agus juga menanyakan soal asas keberpihakan dalam undang-undang tersebut.
"Bila berbicara asas keberpihakan, UU Cipta berpihak kepada siapa? Para investor kapitalis dan oligarki atau rakyat kecil? Serta, Pemerintah dan DPR dalam pembuatan UU Cipta Kerja justru menyalahgunakan wewenangnya dengan tergesah-gesah mengesahkan UU Cipta Kerja tanpa kejelasan prosedur pembentukan UU yang baik," kata dia.
Mengenai persoalan draf UU Cipta Kerja saat sidang paripurna belum dibagikan kepada anggota DPR, Agus merasa ini sangat aneh.
"Bagaimana bisa DPR mengetok sah, padahal anggota DPR nya saja belum memegang draf UU Cipta Kerja. Berarti itu bisa jadi juga belum dibaca oleh anggota DPR yg hadir dalam sidang paripurna," tandasnya.
Sekali lagi, Agus menekankan pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil.
“Dan, sudah seharusnya jika terdapat uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya mempertimbangkan dengan matang dan memutus bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tekan Agus.