Hary sebelumnya dijatuhi vonis yang sesuai dengan tuntutan JPU Kejaksaan Agung yaitu penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan kuasa hukum Syahmirwan, Suminto Pujiharjo, mengatakan bahwa majelis hakim disebut tidak mengadopsi fakta hukum di persidangan terkait perhitungan kerugian negara.
Hal itu yang kemudian menjadi alasan bagi Syahmirwan berencana mengajukan banding.
Suminto menjelaskan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/2016 terkait pencabutan frasa dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 menyebutkan bahwa perhitungan kerugian negara seharusnya bukan berdasarkan potensi tapi bersifat nyata dan pasti. Namun, ketentuan itu tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim.
"Perihal kerugian negara dari BPK itu potensi dan unrealize loss senilai Rp16,8 triliun. Artinya, kerugian negara belum bersifat nyata dan masih potensi termasuk dalam pembelian saham baik secara langsung maupun melalui reksadana, jumlahnya masih sama walaupun nilainya turun," katanya saat dikonfirmasi, Rabu (14/10/2020).
Alasan berikutnya, diungkapkan Suminto, majelis hakim dinilai tidak mempertimbangkan alasan direksi dan kepala investasi memilih saham-saham second liner daripada blue chip.
Sekalipun kondisi keuangan perusahaan yang mencatatkan insolven Rp6,7 triliun pada 2008, menjadi pertimbangan dalam menentukan pembelian saham second liner.
"Untuk mencapai target RKAP, tidak mungkin berinvestasi ke saham-saham blue chip, yang memungkinkan ke saham-saham second liner. Apalagi dalam penyusunan RKAP ini juga telah disetujui pemegang saham dan target juga sudah dipatok," jelasnya.
Dalam putusannya, hakim menjatuhi hukuman yang lebih berat dibandingkan tuntutan JPU terhadap Syahmirwan, yaitu hukuman 18 tahun penjara dan pidana denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Untuk diketahui, vonis yang dijatuhkan terhadap ketiga terdakwa berdasarkan pada dakwaan primer yang diajukan yaitu Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ketiganya dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah yang bebas korupsi, kolusi, nepotisme (KKN); serta bersifat terstruktur, sistematis dan masif terhadap asuransi Jiwasraya.
Selain itu, ketiganya bersama tiga terdakwa lain telah melakukan berbagai perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp16,807 triliun dalam pengelolaan dana PT Asuransi Jiwasraya.
Ketiga terdakwa lain yaitu Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, Komisaris PT Hanson International Benny Tjokrosaputro dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.