Selain itu, Polri juga menemukan indikasi mereka merencanakan aksi perusakan.
"Patut diduga mereka mereka itu memberikan informasi yang menyesatkan berbau SARA dan penghasutan-penghasutan itu. Mereka memang direncanakan sedemikian rupa untuk membawa ini membawa itu, melakukan pengerusakan itu ada jelas semua terpapar jelas," ungkapnya.
Kendati demikian, ia memastikan mereka tidak berada dalam grup yang sama saat menyebarkan informasi yang bersifat ujaran kebencian tersebut.
"Enggak bukan tergabung grup yang sama. Semua akan profiling. Case per casenya di profiling," katanya.
Lebih lanjut, Awi mengatakan kelima tersangka dijerat dengan pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan terkait aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Hal itu termaktub dalam 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP.
Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
"Mereka dipersangkakan setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu ataupun kelompok tertentu didasarkan atas SARA dan atau penghasutan," ungkapnya.
Dikloning
Menyikapi hal tersebut, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) meminta Kepolisian membebaskan para tokoh KAMI karena dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi.
"KAMI meminta Polri membebaskan para tokoh KAMI dari tuduhan dikaitkan dengan penerapan UU ITE yang banyak mengandung pasal-pasal karet, dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi," tulis keterangan KAMI yang dikutip Tribun, Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Keterangan KAMI ditandatangani tiga tokoh Presidium KAMI yaitu Gatot Nurmantyo, Rochmad Wahab, dan Din Syamsuddin.
Pernyataan tersebut, menyikapi penangkapan oleh Polisi kepada Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan beberapa jejaring KAMI di Medan.
Menurut Presidium KAMI, penangkapan mereka khususnya Syahganda mengandung tujuan politis dengan menggunakan instrumen hukum.
Hal tersebut terlihat dari dimensi waktu, dasar laporan Polisi pada 12 Oktober 2020 dan keluarnya sprindik pada 13 Oktober 2020, serta penangkapan dilakukan beberapa jam kemudian dihari yang sama.
"Jelas aneh atau tidak lazim dan menyalahi prosedur. Lebih lagi jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor 21/PUI-XII /2014, tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa dapat menimbulkan," papar Presidium KAMI.
Baca juga: Pernyataan Sikap Presidium KAMI Atas Penangkapan Syahganda Nainggolan dan Kawan-kawan
Pengumuman pers Mabes Polri oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono tentang penangkapan tersebut dinilai mengandung nuansa pembentukan opini dan melakukan generalisasi dengan penisbatan kelembagaan yang bersifat tendensius.
"KAMI menegaskan bahwa ada indikasi kuat handphone beberapa Tokoh KAMI dalam hari-hari terakhir ini diretas atau dikendalikan oleh pihak tertentu sehingga besar kemungkinan disadap atau digandakan (dikloning)," katanya.
"Hal demikian sering dialami oleh para aktifis yang kritis terhadap kekuasaan negara, termasuk oleh beberapa Tokoh KAMI. Sebagai akibatnya, bukti percakapan yang ada sering bersifat artifisial dan absurd," tulisnya.
Kekuatan pro demokrasi harus bersatu
Tak hanya datang dari Presidium KAMI, kritik pun datang dari politikus PKS Mardani Ali Sera terkait penangkapan tersebut.
Mardani menyebut penangkapan sejumlah petinggi KAMI oleh Bareskrim Polri, sebagai ujian bagi demokrasi.
"Apakah ini tes pada KAMI atau kekuatan sipil lainnya, waktu yang akan menjawabnya. Untuk saat ini kekuatan pro demokrasi mesti bersatu menjaga agar iklim kebebasan berpendapat tetap terjaga," ujar Mardani saat dihubungi, Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Menurut Mardani, semua penangkapan yang dilakukan Polisi kepada petinggi KAMI, mesti didasari norma hukum yang tegas.
Baca juga: Gatot Nurmantyo Merasa Handphone Beberapa Tokoh KAMI Disadap dan Diretas
Selama ini, kata Mardani, aparat penegak hukum kerap menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai dasar penangkapan seseorang.
"Padahal mestinya didudukkan proporsinya sesuai dengan hak dasar kebebasan menyampaikan pendapat dan hal berserikat," kata Anggota Komisi II DPR itu.
Melihat kondisi tersebut, Mardani pun menyebut Fraksi PKS sudah mengajukan gagasan untuk revisi beberapa pasal dalam undang-undang tersebut.
"PKS sudah menggagas agar ada revisi dalam pasal UU ITE, khususnya yang sering dijadikan dasar penangkapan atau proses hukum berbasis postingan di social media," ujar Mardani.
Malu pada dunia
Tak hanya Mardani, politikus Gerindra Fadli Zon pun angkat suara terkait penangkapan delapan aktivis KAMI tersebut.
Fadli Zon dalam diskusi virtual bertajuk Menyoal RUU Tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia, Selasa (9/6/2020). (Tribunnews.com/ Chaerul Umam)
Fadli Zon melalui cuitan di akun twitter miliknya (@fadlizon), mengecam penangkapan tersebut.
Menurutnya Anggota Komisi I DPR RI tersebut, penangkapan aktivis KAMI mencederai nilai-nilai demokrasi yang sudah dibangun selama ini.
Ia pun menyebut, Indonesia harus malu bila masih menyebut diri sebagai negara demokrasi.
"Cara-cara lama dipakai lagi di era demokrasi. Malu kita pada dunia masih berani menyebut 'negara demokrasi'."
"Perbedaan pendapat dan sikap dimusuhi dijerat ditangkap. Padahal kekuasaan tak pernah abadi," tulis Fadli Zon dalam unggahannya, Selasa (12/10/2020).
Sebagian Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul BREAKING NEWS:Polri Tetapkan Tiga Deklarator KAMI Sebagai Tersangka dan Tahan di Rutan Bareskrim