Ninok menjelaskan, pertanyaan bagaimana Kompas ke depan pasca Jakob Oetama juga menjadi pertanyaan khalayak.
"Di mana ada pertemuan atau ketemu dengan orang, yang selalu ditanyakan itu. Bagaimana ke depan Kompas Gramedia pasca Jakob Oetama?," ujar dia.
Kalau netral, lanjut Ninok, akan menjawab this is the most challenging time, saat yang paling menantang. Yang pesimis cenderung mengatakan, the future looks gloomy.
Yang bernada optimis tapi juga bermakna dua akan menjawab, setiap orang ada zamannya, dan setiap zaman ada orangnya. "Ini tentu implisit juga bisa, senada dengan apa yang saya sampaikan, yang bermakna apa-apa itu, kejadian itu, peristiwa besar itu, sosok itu, sifatnya hanya satu kali. Kita ingat bahwa orang bilang Kompas itu Pak Jacob, dan Pak
Jakob itu Kompas," ucap Ninok.
Membahas narasi besar Kompas ke depan bukan untuk mengecilkan hati, melainkan untuk menjadi sebuah renungan bersama. "Mari kita renungkan pertanyaan tersebut.
Tapi ini tantangan riil, masalah digital masih terus berlangsung, dan kalau mau jujur, kita harus berani menjawab bahwa kita belum menemukan formula yang jitu untuk memulihkan kejayaan," ucap Ninok.
Ninok menyebut, Harian Kompas saat ini kesulitan menemukan jawaban karena past glory atau kejayaan masa lalu.
Kejayaan masa silam itu, alih-alih menjadi sumber tenaga, malah menjadi liabilitas, menjadi sesuatu yang menggondeli. Ninok ingin tetap mencoba optimistis sambil mengatakan, guru yang berhasil adalah yang bisa menghasilkan murid yang lebih pintar dari dirinya.
"Saya kira Pak Jakob juga punya keyakinan seperti itu, bahwa murid-murid dia, karyawan dia, itu mestinya lebih pintar dari dia. Ada juga pepatah manajemen mengatakan, great leaders create more great leaders," ujar Ninok.
Perspektif demikian, kata Ninok, menjadi sebuah tantangan yang benar-benar berat untuk Harian Kompas. Jakob Oetama adalah seorang great leader.
Narasi besarnya adalah bagaimana para muridnya harus lebih besar dari suhunya. "Ini yang sulit, karena Pak Jakob itu man of history. Itu yang membuat beliau itu sebagai sosok yang tinggi menjulang. Saya berani mengatakan secara umum, mungkin sosok seperti beliau 50 -100 tahun lagi saja mungkin baru lahir satu lagi," tegas Ninok.
Ninok sempat menulis sebuah tulisan obituary (berita kematian) berjudul "Sepatu Pak Jakob Terlalu Besar untuk Kaki Kita Semua
." Tulisan itu diterbitkan pada 10 September 2020, satu hari setelah kepergian Jakob Oetama. Tulisan obituary itu merepresentasikan kedatangan berbagai tantangan yang begitu besar pasca Jakob Oetama.
"Kita tidak punya resources seperti yang dimiliki Pak Jakob. Baik network politik, finansial juga legitimasi," ucap dia. "Itu tidak ada pada kita semua. Ibaratnya kita itu jadi terjepit. Tidak punya resources, sepatu beliau kebesaran, tantangannya lebih sulit. Tapi saya pada kesempatan ini tidak ingin memperpanjang masalah ini," sambung dia.
(tribun
network/gen/ras/dod)