Kedua, kata Boni, konsolidasi demokrasi di level akar rumput berjalan dinamis dan masih fluktuatif.
Negara menjamin kebebasan sipil (civil liberties) dan hak politik (political rights) masyarakat dengan adanya berbagai perangkat hukum yang mendukung terselenggaranya prinsip pokok demokrasi tersebut.
Namun, lemahnya oposisi parlemen membawa konsekuensi pada kebangkitan oposisi jalanan sebagai alternatif untuk menjaga keseimbangan antara kehendak publik dan realitas penyelenggaraan pemerintahan.
"Narasinya bagus, tetapi implementasinya prolematik. Hal itu terjadi karena para elite yang mewakili masyarakat sipil dalam menghidupkan 'oposisi jalanan' umumnya mereka yang pernah berada dalam kekuasaan. Hal itu menyebabkan krebilitas mereka diragukan," kata Boni.
Selain itu, narasi yang mereka bangun juga cendrung insinuatif dan provokatif sehingga masyarakat melihat mereka sebagai 'petualang politik' ketimbang penyambung lidah rakyat.
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah contoh oposisi jalanan yang kontraproduktif.
Mereka ingin mengisi ruang oposisi yang kosong tetapi para elitenya kurang kredibel dan isu yang mereka usung juga kental dengan nuansa libido kekuasaan.
Baca juga: Peneliti LIPI Sebut Satu Tahun Kinerja Jokowi-Maruf Tak Optimal
Pada saat yang sama, kelompok ideologis yang sejak awal tidak menyukai kaum nasionalis terus melakukan penetrasi ruang public dengan gerakan dan narasi kontrapemerintah yang berbalutkan simbol-simbol keagamaan.
"Hizbut Tahir Indonesia yang secara legal sudah dibubarkan terus hidup di tengah masyarakat dengan jubah baru. Mereka bersatu dengan sejumlah ormas keagamaan dan partai politik untuk menekan pemerintah dan memobilisasi dukungan masyarakat dalam rangka memperkuat sentimen “pemerintah dan demokrasi gagal”," paparnya.
Kelompok ini ingin mendirikan bangunan demokrasi yang bernuansa kitab suci.
Sayangnya, kelompok ini mendapat dukungan yang kuat dari sempalan partai oposisi, tokoh publik, dan bekas pejabat yang kecewa dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kristalisasi gerakan terjadi dan tekanan terhadap pemerintah menguat.
Isu Omnibus Law Cipta Kerja pada hakikatnya isu buruh.
Namun, mereka memanfaatkan isu buruh untuk menyudutkan pemerintah.
"Implikasinya cukup rumit karena ada pengaburan kepentingan buruh di sana yang cukup mengganggu sehingga public menjadi bingung soal mana yang berjuang demi buruh dan mana penumpang gelap," jelasnya.