Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam Konferensi Pers Merespon Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya yang digelar Koalisi Keadilan untuk Penembakan Intan Jaya secara virtual, Kamis (22/10/2020) muncul kembali pertanyaan yang kerap berulang dalam diskusi-diskusi mengenai Papua.
Pertanyaan tersebut adalah pendekatan dan langkah seperti apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi konflik-konflik di Papua?
Sebagian kelompok masyarakat sipil menilai pendekatan keamanan bukanlah pendekatan yang tepat untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi di Papua dan kerap memakan korban jiwa.
Baca juga: 5 Ton Sopi Gagal Diselundupkan ke Papua Barat, Polairud Polda Maluku Tangkap Longboat di Laut Seram
Sebagian kalangan masyarakat juga menilai pendekatan kesejahteraan yang dilakukan untuk mengatasi persoalan kekerasan di Papua memang baik.
Namun, tidak cukup untuk menghapuskan akar persoalan konflik dan kekerasan di sana yang diyakini bersumber dari operasi-operasi militer negara serta kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Sebagian kelompok masyarakat sipil tersebut menilai pendekatan dialog merupakan pendekatan yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengatasi konflik di Papua.
Baca juga: Mahfud Rekomendasikan Aparat Pertahanan dan Keamanan Organik yang Kosong di Papua Segera Dilengkapi
Satu di antara model yang kerap muncul dan diajukan dalam diskusi-diskusi terkait Papua oleh masyarakat sipil adalah model perundingan Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang hasilnya dinilai banyak kalangan memenuhi ekspektasi publik.
Direktur Imparsial Al Araf mengungkapkan, untuk menuju ke model resolusi konflik seperti perundingan Helsinki pada 2005 lalu itu pertama-tama pemerintah dinilai perlu melihat persoalan Papua dalam paradigma dan perspektif yang lebih demokratis.
Langkah selanjutnya pemerintah dinilai perlu melakukan desekuritisasi dengan melakukan penarikan pasukan non organik dari Papua.
Baca juga: TNI Kontak Tembak dengan KKSB di Distrik Serambakon Papua, Tidak Ada Korban dari TNI
"Tidak perlu dengan mengirimkan suatu kekuatan-kekuatan non organik yang besar di sana, apalagi menambah konsentrasi pasukan yang besar, misalkan dalam prediksi Kementerian Pertahanan dari 13 ribu sampai 29 ribu sampai 2029. Itu sesuatu yang meletakkan pola pendekatannya semakin eksesif. Itu cara pandang yang tentunya keliru karena itu akan menimbulkan problem-problem yang ekses," kata Al Araf.
Ketiga, kata Al Araf, adalah penanganan keamanan tetap dalam kerangka penegakan hukum yang proporsional.
"Jadi kalau ada kekerasan dan sebagainya dilakukan dengan operasi penegakan hukum yang proporsional," kata Al Araf.
Kemudian yang keempat, kata dia, pada saat bersamaan upaya-upaya melakukan proses dialog itu harus dipilih pemerintah dengan membangun ruang komunikasi dengan semua stakeholder yang strategis di Papua.
"Dan kelompok-kelompok strategis itu harus dijadikan satu ruang oleh pemerintah untuk duduk bersama dalam satu meja menyelesaikan persoalan di Papua secara lebih inklusif, lebih baik, dan lebih demokratis. Itu yang terbaik cara penyelesaiannya," kata Al Araf.