Mulyanto menilai, hal tersebut akibat dari ngebutnya pembahasan RUU Cipta Kerja sehingga dokumen tidak terkonsilidasi dengan baik.
"Ada redaksi yang tidak tepat, substansi yang tercecer, termasuk typo. Sehingga perlu diperbaiki. Ini yang juga menjadi pertanyaan publik. Apakah bisa diterima pembentukan Undang-Undang dengan cara ngebut seperti itu?," ucapnya.
"Apakah boleh pemerintah memperbaiki naskah RUU pasca-pengesahan di paripurna? Ini yang juga masalah," pungkasnya.
Diketahui, Pasal 46 UU Migas sebelumnya tercantum dalam naskah UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Joko Widodo.
Namun, pasal tersebut dihapus dari naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam.
Tambah 375 Halaman
Baca juga: Sebut Jokowi-Maruf Sukses Kebiri KPK, Nasdem: Mungkin ICW Hanya Lihat Banyak Koruptor yang Ditangkap
Draf Undang-Undang Cipta Kerja kembali mengalami perubahan jumlah halamannya setelah diserahkan DPR ke pemerintah pada Rabu (14/10/2020).
Hari ini beredar draf UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman.
Padahal draf final undang-undang tersebut setebal 812 halaman.
Artinya, ada penambahan 375 halaman.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya membenarkan ada perubahan halaman draf UU Cipta Kerja usai dipegang oleh pemerintah.
"Itu perubahan format kertas disesuaikan dengan lembar negara, aku sudah cek ke Kementerian Sekretaris Negara. Jadi format kertas disesuaikan dengan lembar negara," kata Willy saat dihubungi, Kamis (22/10/2020).
Meski ada perubahan halaman, kata Willy, tidak ada perubahan subtansi dari UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR bersama pemerintah saat rapat paripurna, hingga akhirnya diserahkan ke pemerintah
"Tidak ada subtansi yang berubah," ucap politikus NasDem itu.