TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra didakwa menyuap dua jenderal polisi sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 420 ribu dolar AS
Suap itu bermaksud untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen imigrasi).
Adapun, dua jenderal polisi yang diduga menerima suap Djoko Tjandra yakni, Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, serta Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri.
Irjen Napoleon Bonaparte diduga menerima uang sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 dolar AS.
Sementara Brigjen Prasetyo, disebut turut menerima uang senilai 150 dolar AS.
Kedua jenderal polisi itu diduga menerima uang suap dari Djoko Tjandra melalui seorang pengusaha Tommy Sumardi.
"Terdakwa turut serta melakukan dengan H. Tommy Sumardi yaitu memberi uang sejumlah SGD200 ribu dan USD270 ribu kepada Inspektur Jenderal Polisi Drs. Napoleon Bonaparte," ucal Jaksa saat membacakan surat dakwaan untuk Djoko Tjandra di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Baca juga: Tommy Sumardi Perantara Djoko Tjandra Didakwa Suap 2 Jenderal Polisi
"Dan memberi uang sejumlah USD150 ribu Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo," sambungnya.
Djoko Tjandra diduga menyuap dua jenderal polisi tersebut untuk mengupayakan namanya dihapus dari DPO yang dicatatkan di Ditjen Imigrasi, dengan menerbitkan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI.
Adapun, surat yang diterbitkan yaitu surat dengan nomor : B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020; surat nomor : B/1030/IV/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020; dan surat nomor : B/1036/IV/2020/NCB-Div HI tgl 05 Mei 2020.
"Yang dengan surat-surat tersebut pada tanggal 13 Mei 2020, pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atasnama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistim Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi," ungkap Jaksa.
Kasus ini berawal ketika Djoko Tjandra yang sedang berada di Kuala Lumpur, Malaysia, meminta bantuan kepada rekannya, Tommy Sumardi, agar dapat masuk ke wilayah Indonesia secara sah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus korupsi Bank Bali.
Dalam percakapan tersebut, Djoko Tjandra meminta agar Tommy Sumardi menanyakan status Interpol Red Notice atasnama dirinya di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.
Sebab, sebelumnya Djoko Tjandra mendapat informasi bahwa Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.
Djoko Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar melalui Tommy Sumardi kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan dirinya agar bebas masuk ke indonesia terutama kepada pejabat di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.
Selanjutnya, Tommy Sumardi menemui dan meminta bantuan kepada Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo untuk dapat memeriksa status Interpol Red Notice Joko Soegiarto Tjandra.
Kemudian, Brigjen Prasetijo Utomo, mengantarkan dan mengenalkan Tommy Sumardi kepada terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte, untuk mewujudkan keinginan Djoko Tjandra tersebut.
Setelah adanya pertemuan, terjadi siasat untuk menghapus red notice Djoko Tjandra.
Tommy Sumardi bersama Brigjen Prasetijo Utomo, kembali menemui terdakwa Napoleon Bonaparte, di ruangan Kadivhubinter Polri.
Dalam pertemuan tersebut, Napoleon Bonaparte menyampaikan bahwa red notice Djoko Tjandra bisa dibuka, karena sudah dibuka dari pusatnya.
Napoleon memastikan bahwa dirinya bisa membuka red notice Djoko Tjandra asal ada uangnya.