TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) terbaru meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut andil dalam pemberantasan terorisme di tanah air.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safa'at mengatakan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme adalah hal yang tidak perlu.
"Sebenarnya keterlibatan itu tidak perlu, kecuali dalam eskalasi tertentu. Dengan cara tertentu,yang memang sangat genting sekali," ujar Ali saat menjadi narasumber dalam diskusi MNC Trijaya FM yang bertema "Pemberantasan Terorisme Dalam Perspektif Hukum, HAM dan Keamanan", Kamis (5/11/2020).
Baca juga: Perpres TNI untuk Tangani Terorisme Dinilai Rancu dan Picu Tumpang Tindih
Menurut Ali, pemerintah perlu membagi urusan pertahanan dan keamanan. Sebab keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.
"Persoalan pertahanan berhubungan dengan kedaulatan negara yang biasanya ancaman itu datang dari luar. Maka untuk menghadapi ini dibutuhkan kekuatan militer TNI," kata Ali.
Sementara untuk persoalan keamanan itu sifatnya internal dan yang dihadapi adalah warga negaranya sendiri untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan.
"Ketika TNI masuk kedalam proses pemberantasan terorisme, dengan model pendidikan yang seperti ini maka yang terjadi nanti pelanggaran hak asasi manusia," tegas Ali.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan rencana pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme bertentangan dengan kaidah-kaidah Hak Asasi Manusia (HAM) dan kaidah demokrasi serta kaidah pertahanan dalam mengembangkan TNI.
"Draf Peraturan Presiden yang telah diserahkan ke DPR akan jadi indikator ke depan apakah pola atau mode penanganan terorisme di Indonesia, akan tetap dalam pola yang mengedepankan penegakkan hukum pidana (criminal justice system) atau akan bergeser kepada model perang atau sistem hukum perang," kata Usman.
Ia menegaskan bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda.
Namun yang penting, dalam melawan aksi terorisme, tidak boleh sampai menimbulkan masalah baru apalagi sampai muncul tindakan terorisme lainnya.
"Ketika sebuah negara memilih pendekatan perang, maka memang pendekatan militer dapat dibenarkan. Tetapi hal itu harus diberlakukan di luar teritori negara," kata Usman.
Menurutnya, kalau perang itu dilakukan di wilayah teritori sendiri maka yang terjadi hanya akan berakibat fatal terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia.
"Kita terlalu emosional menghadapi kejahatan selalu dengan mengatasnamakan perang," pungkas Usman.Â