Ada pula, larangan untuk mendonorkan dan memperjualbelikan sperma yang tercantum
dalam pasal 31 ayat 1 dan 2. Dalam pasal 31 ayat 1 dituliskan bahwa:
"Setiap orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima
donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk
keperluan memperoleh keturunan".
Sedangkan ayat 2 berbunyi: "Setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan".
Adapun ketentuan pidananya diatur di dalam Pasal 139 dan Pasal 140. Pasal 139 mengatur ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang disebutkan di dalam Pasal 31 Ayat (1).
Mereka yang melakukannya terancam pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Sementara mereka yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Ayat (2) terancam hukuman lebih berat sebagaimana diatur pada Pasal 140.
Di dalam pasal itu, mereka yang sengaja melakukannya terancam pidana tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Draf RUU itu juga mengatur soal penyimpangan seksual.
Dalam bab penjelasan, ada
empat perbuatan yang dikategorikan sebagai penyimpangan, di antaranya ialah homoseksualitas atau hubungan sesama jenis, juga sadisme, masokisme, dan inses.
Pasal 86 menyebutkan: "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah
untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."