TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penantian panjang agar korban tindak pidana teorisme mendapat kompensasi dari negara akhirnya berbuah manis.
Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), negara memberikan ganti rugi atau kompensasi untuk para korban tindak pidana terorisme.
Penyaluran kompensasi bagi para korban kejahatan terorisme dilakukan LPSK seiring terbitnya Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Memang perundangannya sudah dua tahun, tapi banyak publik yang belum tahu.
Dalam undang-undang Nomor 5 tahun 2018 itu disebutkan secara eksplisit, mereka yang menjadi korban tindak pidana terorisme merupakan tanggung jawab negara. Artinya, para korban kejahatan terorisme berhak atas kompensasi.
Ada empat klasifikasi korban tindak pidana terorisme yang mendapat kompensasi dari negara, di antaranya; korban meninggal dunia, luka berat, luka sedang dan luka ringan.
Baca juga: DPR Beri Masukan Pembentukan Badan Pengawas di Perpres Pelibatan TNI Berantas Terorisme
Korban meninggal dunia mendapatkan kompensasi sebesar Rp 250 juta.
Terbitnya undang-undang ini dinilai LPSK sebagai salah satu langkah maju. Lalu, berapa besarannya untuk tiap kategori korban? Lalu bagaimana prosedurnya?
Berikut petikan wawancara lengkap Tribun Network bersama Ketua LPSK Hasto Admojo.
Bagaimana kompensasi korban terorisme dari LPSK?
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 2018, LPSK makin kukuh sebagai lembaga yang memberikan perhatian kepada korban, dalam hal ini khusus korban terorisme.
Dalam undang-undang ini disebutkan korban tindak pidana terorisme ini adalah tanggung jawab negara. Ini langkah maju, karena korban tindak pidana terorisme masa lalu itu berhak atas kompensasi.
Pasal itu berlaku surut, undang-undang ini perubahan dari Perpu Tentang Terorisme yang keluar ketika terjadi Bom Bali I. Jadi ini ditarik mundur sampai Bom Bali I, dari 2002.
Jadi korban tindak pidana Terorisme dari tahun 2002 sampai sekarang itu berhak atas kompensasi dan tidak melalui pengadilan.