TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adik kandung Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, membeberkan bagaimana reaksi sang kakak saat mengetahui Edhy Prabowo ditangkap KPK saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.
Hal itu diungkapkannya dalam konferensi pers yang dilakukan di kawasan Pluit, Jakarta Utara, Jumat (4/12/2020).
"Pak Prabowo sangat marah, kecewa merasa dikhianati," kata Hashim di lokasi.
Hashim masih ingat bagaimana letupan amarah itu dikatakan oleh kakaknya yang juga Menteri Pertahanan.
"Dia bilang sangat kecewa dengan anak yang dia angkat dari selokan 25 tahun lalu. I pick him up from the gutter, and this is what he does to me?" katanya menirukan ucapan Prabowo.
Hashim sendiri membantah bahwa perusahaan keluarganya, PT Bima Sakti Mutiara terlibat dalam pusara kasus izin ekspor benih lobster yang menjerat Edhy.
Hal itu dikatakan Hotman Paris selaku kuasa hukum keluarga Hashim. Hotman Paris Hutapea menyebut bahwa keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusomo, belum memiliki izin ekspor benih lobster.
Edhy yang ditangkap KPK terkait dugaan kasus izin ekspor benur.
Baca juga: Namanya Selalu Dikaitkan dalam Ekspor Benih Lobster, Hashim: Saya Merasa Dihina dan Difitnah!
Baca juga: Nantikan Sikap Prabowo soal Kasus Edhy Prabowo, Rocky Gerung: Gerindra Kehilangan Momentum
"Empat kelengkapan ekspor dia (Sarah) belum dapat artinya belum punya izin ekspor lengkap. Artinya belum pernah ekspor dan tidak pernah nyogok untuk dapatkan hal itu," kata Hotman.
Adapun keempat kelengkapan tersebut yakni sertifikat budi daya lobster, sertifikat instalasi karantina ikan, cara pembibitan yang baik, dan surat penetapan waktu pengeluaran ekspor.
Hotman mengatakan, baik Hashim maupun Rahayu Saraswati sang anak yang notabenenya masih keluarga dengan Prabowo Subianto, bahkan sampai Edhy ditangkap belum mendapatkan empat kelengkapan tersebut.
Padahal, di satu sisi, ada perusahaan-perusahaan lain yang sudah mendapatkan izin. Jumlahnya bahkan disebut Hotman mencapai puluhan.
"Ini yang disesalkan dia (Sarah) sebagai ponakan Prabowo dapat diskriminasi. Ada 60 sudah dapat izin. Mereka oleh pengusaha jago lobi sudah dapat, tapi dia sampai hari ini, sampai ditangkap menterinya, izin ekspor belum ada," ujarnya.
Hotman mengatakan, Saras menginginkan perusahaannya mendapatkan izin tanpa ada lobi-lobi yang sifatnya transaksional.
"Dia mau tempuh jalur resmi tanpa sogokan," pungkas Hotman.
Dalam dugaan kasus izin benur ini, KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misata; Pengurus PT ACK, Siswadi; staf istri Menteri KP, Ainul Faqih; dan Amiril Mukminin (swasta).
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT Aero Citra Kargo bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo. Salah satunya ialah untuk keperluan saat ia berada di Hawaii, AS.
Ia diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.