Reza menyebut kemungkinan menembak menjadi perilaku spontan dan bukan aktivitas terukur.
"Semakin besar ketika personel sudah mempersepsikan target sebagai pihak yang berbahaya."
"Jadi, dengan kata lain, dalam situasi semacam itu, personel bertindak dengan didorong oleh rasa takut," ungkapnya.
Apalagi, kata Reza, jika peristiwa yang dipersepsikan kritis berlangsung pada malam hari.
"Ada data yang menunjukkan, dalam kasus penembakan terhadap target yang disangka bersenjata (padahal tidak membawa senjata), 70an persen berlangsung pada malam hari saat pencahayaan minim sehingga mengganggu kejernihan penglihatan personel," jelasnya.
Baca juga: Muhammadiyah Minta Dilakukan Penyelidikan Terkait Tewasnya 6 Laskar FPI
Reza menyebut ada faktor luar dan dalam yang memunculkan perilaku tersebut.
Faktor luar adalah letusan pertama oleh personel pertama dan kondisi alam di TKP.
Faktor dalam adalah rasa takut personel.
"Dengan gambaran seperti itu, benarkah penembakan oleh personel polisi pasti selalu merupakan langkah terukur?" ungkapnya.
"Tentu, apalagi karena ada dua versi kronologi, butuh investigasi kasus per kasus terhadap masing-masing dan antar personel," lanjut Reza.
Baca juga: Polri Klaim Tak Halangi Pihak Keluarga Urus Jenazah 6 Laskar FPI
Reza mengungkapkan investigasi dapat dilakukan oleh semacam Shooting Review Board.
"Nantinya (investigasi) tidak hanya mengeluarkan simpulan apakah penembakan memang sesuai atau bertentangan dengan ketentuan."
"Lebih jauh, temuan tim investigasi bermanfaat sebagai masukan bagi unit-unit semacam SDM dan Diklat," ungkap Reza.
Kronologi Menurut Kepolisian