Disparitas itu mulai dari hadirnya UU Nomor 1 Tahun 1945 yang lebih menonjolkan pendekatan manajerial, hingga hadirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 yang lebih menekankan pendekatan politik.
Baca juga: Menaker Terbitkan Aturan Libur Pilkada Serentak 2020 bagi Pekerja, Terkait Ketentuan dan Upah Lembur
Disparitas antara pendekatan manajerial dan politik ini, membawa Pilkada di Indonesia pada posisi kinerja yang belum optimal.
"Karena mengabaikan hakekat dan substansi demokrasi yang sesungguhnya, yaitu terpilihnya pemimpin lokal yang mampu memberikan pelayanan terbaik utk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya," ujarnya.
Maka, kata dia, berangkat dari banyaknya permasalahan itu, ditambah lagi dengan isu-isu pelaksanaan Pilkada, antara lain belum akuratnya data kependudukan, ASN yang tidak netral, dan kondisi politik lokal yang tidak kondusif yang mengganggu ekonomi, perlu digali formulasi Pilkada yang tepat.
Dan apa yang diperlukan agar Pilkada langsung dan serentak ini tidak hanya sukses dilaksanakan tapi juga menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
"Saya dalam menganalisis ini lmenggunakan pendekatan teori Rosenbloom yang melihat suatu kebijakan publik dari aspek politik, manajerial dan hukum.
Saya menganalisis bagaimana pelaksanaan Pilkada serentak dan langsung di Indonesia. Namun saya hanya berfokus pada aspek politik dan manajerial saja," kata Akmal.
Kajian kata Akmal, diawali dengan melakukan evaluasi terhadap regulasi tentang Pilkada yang pernah ada.
Akmal Malik mengungkapkan ada sejumlah fakta terkait aspek politik dan manajerial dalam Pilkada.
Pada Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, aspek manajerial lebih tinggi dibandingkan aspek politik, dimana pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui DPRD.
Sehingga lebih efektif, efisien dan ekonomis.
Namun kelemahannya adalah aspek partisipasi dan keterwakilan politik dari masyarakat relatif kurang terakomodasi.
Baca juga: Besok Digelar Pilkada Serentak: Perhatikan 16 Aturan Mencoblos di TPS Saat Pandemi Covid-19
"Pada masa reformasi, saat diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 aspek politik tinggi, tapi dalam prakteknya aspek manajerial juga tinggi dimana ditandai banyaknya partai politik yang berkembang atau tingginya aspek politik.
Sedangkan pemilihan tetap dilaksanakan oleh DPRD, atau tingginya aspek manajerial. Disini DPRD tidak bisa berperan hanya mewakili partai politik saja tapi harus mendengarkan suara masyarakat," urai Akmal panjang lebar.