TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang penghapusan red notice Djoko Tjandra, dengan terdakwa Tommy Sumardi.
Agenda sidang membaca nota pembelaan atau pleidoi dari Tommy Sumardi atas tuntutan 18 bulan penjara.
Pleidoi dibacakan Tommy Sumardi dan tim kuasa hukumnya.
Kuasa hukum Tommy Sumardi, Dion Pongkor mengatakan keterangan Irjen Napoleon Bonaparte, yang juga terdakwa penerima suap dalam kasus serupa, menyebut nama Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsudin dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, tidak dapat dibuktikan baik kebenarannya maupun alat bukti yang mendukung.
"Keterangan tersebut sampai hari ini tidak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Karena sudah dibantah oleh terdakwa Tommy Sumardi dan tidak didukung oleh alat bukti lainnya," kata Dion, Kamis (17/12/2020).
Baca juga: Dituntut 1,6 Tahun Penjara, Tommy Sumardi Layangkan Pleidoi
Menurut kuasa hukum Tommy Sumardi, keterangan Napoleon adalah pernyatana sesat atau merupakan sebuah kebohongan publik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Napoleon disebut tengah memiliki agenda tersembunyi kala membawa nama petinggi itu ke dalam persidangan.
"Ditengarai adanya hidden agenda/agenda tersembunyi. Entah dengan maksud apa, ada agenda tersembunyi apa, dari saksi Napoloen Bonaparte yang begitu bersemangat untuk melibatkan ketiga tokoh yang telah kami sebutkan di atas," kata dia.
Dion menilai pernyataan Napoleon hanya mencari sensasi dan bukan untuk membela diri.
"Pernyataan tersebut bagi kami hanya omong kosong belaka, hanya sekedar mencari sensasi bukan untuk membela diri. Terbukti pada saat ditanya oleh Penasehat Hukum apa hubungan antara ketiga nama yang disebutkan saksi dengan surat yang dikirimkan ke Imigrasi terkait penghapusan Red Notice Djoko Tjandra, saksi menyatakan tidak ada hubungannya," tutur Dion.
"Lalu untuk apa menyebut-nyebut ketiga nama tersebut dalam kasus ini? Terlihat jelas saksi Napoleon Bonaparte hanya bertujuan untuk mengalihkan fokus persidangan dari kasus yang menjerat dirinya sendiri," pungkasnya.
Tuntutan Jaksa
Tommy Sumardi dituntut 1 tahun 6 bulan penjara dalam kasus suap pengurusan red notice Djoko Tjandra. Jaksa Penuntut umum (JPU) juga menuntut Tommy selaku terdakwa membayar denda Rp100 juta subsider 6 bulan pidana badan.
Tommy disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam tuntutannya, jaksa melakukan sejumlah pertimbangan. Untuk sisi yang memberatkan, Tommy dianggap tidak mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sedangkan sisi yang meringankan, Tommy dianggap telah mengakui perbuatannya.
Tommy juga dinyatakan bukan pelaku utama.
Selama persidangan, Tommy juga dinilai telah memberikan keterangan atau bukti yang signifikan mengungkap tindak pidana dan pelaku lain.
Untuk itu, jaksa turut meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor yang menangani perkara ini menyatakan Tommy sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerjasama.
Dalam perkara ini, pengusaha Tommy Sumardi didakwa bersama-sama dengan Djoko Tjandra memberikan suap ke dua orang jenderal polisi.
Yaitu Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte, dan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
Jaksa menyebut uang itu berasal dari Djoko Tjandra untuk kepentingan pengurusan red notice Interpol dan penghapusan status Djoko Tjandra dalam daftar pencarian orang (DPO).
Dalam surat dakwaan, Tommy diduga memberikan 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS kepada Irjen Napoleon dan 150 ribu dolar AS kepada Brigjen Prasetijo.