TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan perkara dugaan suap pengurusan penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar red notice Polri dengan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2021).
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu menjelaskan ihwal permintaan Tommy Sumardi untuk menghapus red notice Djoko Tjandra sebagai buronan kasus korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali.
Napoleon berkata bahwa ia pertama kali bertemu dengan Tommy Sumardi pada tanggal 2 April.
Pada saat itu, katanya, Tommy mengenalkan diri sebagai teman Djoko Tjandra dan datang untuk melihat status red notice Djoko Tjandra. Napoleon pun langsung menolaknya.
"Saya lupa, awal April sekitar tanggal 2. Itu pertama kali saya berkenalan dengan Tomy Sumardi. Dia diantar Brigjen Prasetijo Utomo. Dia bilang, dia temannya Djoko Tjandra. Kalau begitu anda tidak berhak bertanya status red notice," ucap Napoleon saat menjalani sidang.
Kata Napoleon, sebagaimana peraturan yang tertulis dalam Interpol, yang boleh melihat status red notice hanyalah orang yang bersangkutan itu sendiri ataupun pengacara dan keluarganya.
Akhirnya, Napoleon pun menyuruh Tommy untuk menemuinya kembali dan mengirimkan surat resmi dan pada tanggal 16 April.
Tommy lantas kembali menemui Napoleon dan membawa surat secara resmi.
"Dia menemui saya di ruangan saya dengan membawa surat dari istrinya Djoko Tjandra. 9 lembar surat di paper bag, itu ditandatangani dengan perihal permohonan penghapusan red notice nomor sekian atas nama Djoko Tjandra," ucap Napoleon.
"Saya tanya ke Tommy, pertama anda datang ngecek status red notice, sekarang di suratnya anda minta red notice dihapuskan. Itu 2 hal berbeda, kata saya," imbuhnya.
Baca juga: Polisi Disebut Sedang Usut Tindak Pidana Pencucian Uang Irjen Napoleon Bonaparte
Napoleon menuturkan, Tommy pun kembali mengirimkan surat pada tanggal 28 April. Tujuan suratnya pun masih sama.
Napoleon mengatakan bahwa ia tidak bertemu dengan Tommy di hari itu.
"27 April Tommy datang ke saya. Kalau 28 April tidak bertemu, tapi saya tahu dia datang. Dia mengirim surat isinya cerita perjalanan kasusnya. Tapi ujung-ujungnya sama. Dengan perihal meminta penghapusan. Saya lupa penghapusan atau pencabutan," tuturnya.
Napoleon pun merasa Tommy tidak mengerti perihal apa yang dia lakukan.
ia pun langsung menggelar rapat internal bersama NCB Interpol untuk membahas surat dari Tommy.
Sebab, kata Napoleon, dia dan timnya mengetahui status red notice Djoko Tjandra.
"Setelah Tommy pulang, saya panggil NCB 3 orang. Silakan tindaklanjuti nomor suratnya cek lagi, lapor lagi. Rapat hari itu," ujar Napoleon.
"Menurut saya, Tommy tidak ngerti apa yang dia bawa. Tahunya dia, dia hanya bantu temannya yang namanya Djoko Tjandra seperti yang dia sampaikan di awal April," sambungnya.
Yang pada akhirnya, Napoleon menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima permintaan Tommy untuk mencabut red notice Djoko Tjandra.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra lewat perantara Tommy Sumardi.
Uang tersebut diberikan oleh Djoko Tjandra agar namanya dihapus dari red notice. Napoleon didakwa menerima duit itu bersama-sama Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Adapun, Prasetijo menerima 150 ribu dolar AS.
Jaksa menyebutkan pada April 2020 Djoko Tjandra yang berada di Kuala Lumpur Malaysia menghubungi Tommy Sumardi melalui sambungan telepon untuk menyampaikan maksud agar dapat masuk ke wilayah Indonesia.
Dia ingin mengurus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas kasus hak tagih Bank Bali di mana dirinya berstatus terpidana dan buron.