Kepala daerah juga diimbau untuk memperkuat dan meningkatkan sosialisasi dan penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan.
Konsep Belum Jelas
Menanggapi rencana pemberlakuan PPKM mikro ini, epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo mengatakan, konsep dari kebijakan tersebut masih belum jelas, baik secara istilah maupun secara substansi.
"Apa yang dimaksud dengan PPKM berskala mikro? Apa istilah ini sama dengan karantina wilayah berskala mikro? atau apakah sekedar nama lain dari istilah semacam "kampung tangguh"?" kata Windhu.
Windhu mengatakan, kalau yang dimaksud dengan PPKM mikro adalah karantina wilayah tapi berskala mikro, berarti ada wilayah mikro (RT/RW/Desa-Kelurahan) yang dikarantina, tetapi ada juga yang tidak dikarantina.
"Apa indikator penetapan wilayah-wilayah mikro yang akan dikarantina dan yang tidak? Bukankah dalam kondisi testing rate dan contact tracing yang sangat kecil di Indonesia (3 persen populasi saja belum sampai) kita seperti punya peta buta, sehingga tidak bisa menetapkan wilayah mikro yang berisiko tinggi/rendah," kata Windhu.
Baca juga: Ekonomi Indonesia Minus 2.07 Persen, PPKM Jadi Blunder dan Stimulus Kurang Efektif
Baca juga: Tak Ada Lockdown saat Imlek, Kemenkes Tegaskan PPKM Jawa-Bali Masih Berjalan
Selain itu, dia juga mempertanyakan status wilayah mikro yang dianggap berisiko rendah karena dinilai tidak ada kasus atau kasusnya sedikit.
"Memang benar-benar tidak ada kasus atau kasus sedikit? Itu bisa sangat menyesatkan, karena bisa saja itu semu karena kita tidak mampu mendeteksinya akibat testing yang sangat lemah," kata Windhu melanjutkan.
Menurut dia, bila testing rate makin lemah, maka karantina wilayah yang diberlakukan harus makin makro, sedikitnya tingkat kota/kabupaten, atau tingkat provinsi, pulau atau nasional.
Sedangkan semakin tinggi testing rate, maka makin bisa dilakukan karantina wilayah yang mikro, bahkan sampai tingkat RT-RW.
"Contoh yang dilakukan di Hongkong. Pemerintahnya bisa melakukan lockdown tingkat mikro, yaitu blok-blok, karena testing ratenya mencapai lebih dari 85 persen populasinya," ujar Windhu.
Di sisi lain, Windhu mengatakan, jika pengertian PPKM berskala mikro adalah semacam "kampung tangguh", maka sebetulnya kebijakan tersebut tidak berbeda dengan apa yang selama ini disebut oleh pemerintah sudah dilakukan.
"Ya enggak apa-apa kalau ini yang dioptimalkan. Berarti ini sebuah pengakuan bahwa konsep "kampung tangguh" selama ini belum banyak diimplementasikan dengan benar, hanya nama doang," kata Windhu.
Windhu menilai, seharusnya pemerintah tidak hanya suka bermain istilah atau nama dalam hal menentukan kebijakan.