News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Inas: Masih ada Tokoh Tidak Paham Sampaikan Pendapat di Muka Umum Tanpa Melanggar Aturan

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua DPP Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir

TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Penasihat Hanura, Inas Nasrullah Zubir mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat terbuka untuk dikritik.

Namun menurut dia keterbukaan tersebut jangan disalah artikan seolah-olah Jokowi siap difitnah. 

"Sayang-nya banyak para tokoh dan pengamat yang kemudian mempolitisir pernyataan pak Jokowi tentang keinginan beliau untuk dikritisi secara konstruktif tapi bukan caci maki yang destruktif," kata Inas kepada tribunnews.com, Sabtu, (13/2/2021).

Menurut dia di era media sosial sekarang ini kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat serta kritik, cenderung dilakukan tanpa lagi  mengindahkan etika pergaulan.

Akibatnya banyak orang beragumen tanpa memperdulikan aturan hukum yang berlaku. 

" Sehingga mengaburkan batasan antara mengkritisi, memfitnah dan menghujat," katanya.

Sebagai negara demokrasi, Konstitusi Indonesia telah menjamin kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum melalui peraturan dan perundang-undangan. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegaskan vaksinasi Covid-19 dilakukan secara klasterisasi, bukan perorangan pada saat konferensi pers Munas IV, Kamis (11/2/2021). (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Namun sayang masih ada tokoh yang tidak memahami menyampaikan pendapat di muka umum tanpa melanggar aturan.

Misalnya kata dia Jusuf Kalla (JK) yang mempertanyakan cara mengkritik Jokowi tanpa dipanggil polisi.

Baca juga: Anggota DPR: Kritik Pemerintah Boleh Asal Tidak Dilandasi Rasa Benci

"Misalnya saja JK, dimana dia menanggapi permintaan pak Jokowi yang ingin dikritisi, dengan mempertanyakan cara mengkritisi pak Jokowi agar tak dipanggil polisi, padahal sebagai mantan wakil presiden 2 kali, seharusnya JK, hapal diluar kepala tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum secara bertanggung jawab," pungkasnya.

Sebelumnya Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat terus mengkritik pemerintah.

"Presiden mengumumkan, silakan kritik pemerintah. Tentu banyak pertanyaan, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?" kata Jusuf Kalla dalam acara diskusi virtual yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat (12/2/2021) dikutip dari Kompas Tv.

Hal itu tersebut, kata Jusuf Kalla (JK), harus diupayakan agar kritik terhadap pemerintah tidak berujung pada pemanggilan oleh kepolisian.

Menurut JK, kritik sangat diperlukan dalam pelaksanaan sebuah demokrasi.

"Harus ada check and balance. Ada kritik dalam pelaksanaannya," katanya.

Jusuf Kalla saat melayat ke rumah duka eks Mendiknas Malik Fadjar di Tebet, Jaksel, Selasa (8/9/2020). (Tribunnews.com/Reza Deni)

Di acara diskusi virtual bertema "Mimbar Demokrasi Kebangsaan" ini, JK juga mengingatkan kepada PKS sebagai partai oposisi untuk melakukan kritik kepada pemerintah.

Karena keberadaan oposisi penting untuk menjaga kelangsungan demokrasi.

"PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu. Agar terjadi balancing, dan agar terjadi kontrol di pemerintah."

"Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik," tutur JK.
Diingatkan JK, indeks demokrasi di Indonesia saat ini dinilai menurun menurut The Economist Intelligence Unit (EIU).

"Tentu ini bukan demokrasinya yang menurun, tapi apa yang kita lakukan dalam demokrasi itu," ujarnya.

Menurutnya, ada hal-hal obyektif yang tidak sesuai dengan dasar-dasar demokrasi. Dalam demokrasi, warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Masalah utama dalam demokrasi itu disebabkan oleh mahalnya demokrasi itu sendiri. Sehingga demokrasi tidak berjalan dengan baik.

"Untuk menjadi anggota DPR saja butuh berapa? Menjadi bupati dan calon pun butuh biaya. Karena demokrasi mahal. Maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi."

"Di situlah terjadinya menurunnya demokrasi. Kalau demokrasi menurun, maka korupsi juga naik. Itulah yang terjadi," papar JK.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini