Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengidentifikasi keberadaan burung endemik Kalimantan, Burung Pelanduk yang diketahui telah hilang selama 172 tahun.
Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional Sebangau, Teguh Willy Nugroho mengatakan hewan bernama latin malacocincla perspicillata yang diduga mengalami kepunahan sejak tahun 1848 atau 172 tahun lalu kembali ditemukan.
“Burung ini kembali dijumpai di Pulau Kalimantan tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan,” kata Teguh pada konferensi pers daring, Selasa (2/3/2021).
Baca juga: Masyarakat di Kayan Hulu Kalimantan Kini Nikmati BBM dengan Harga Sama
Teguh bercerita awal mula burung ini ditemukan merupakan ketidaksengajaan oleh dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan.
Salah satu dari mereka merupakan anggota dari sebuah grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas.
Kemudian mereka mengkomunikasikan mengenai seluk beluk burung tersebut.
“Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait temuan tersebut," kata Teguh.
Baca juga: Telusuri Aset Tersangka Korupsi Asabri, Kejagung Kirim Tim Penyidik ke Kalimantan
Teguh mengatakan terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini.
Di antaranya pada warna iris mata, paruh, dan warna kaki.
“Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh yang juga salah satu penulis makalah mengenai burung ini.
Baca juga: Sejumlah Rumah Sakit di Kalimantan Terima Bantuan APD untuk Tenaga Medis
Teguh menegaskan, temuan ini juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan.
Menurutnya, pada kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, sangat penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data.
“Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ungkap Teguh.
Ia mengatakan burung Pelanduk Kalimantan yang ditemukan sesuai dengan yang digambarkan ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada tahun 1850.
Identifikasi berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada tahun 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl ALM Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan.
Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan.
Selain itu, asal muasal spesimen juga masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas.
Teguh menuturkan asumsi awal bahwa spesimen tersebut diambil di Pulau Jawa pada tahun 1895 dimana ahli ornitologi Swiss Johann Büttikofer menunjukkan bahwa waktu itu Schwaner berada di Pulau Kalimantan.
Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen ini.
Burung penyanyi yang tergolong dalam keluarga Pellorneidae ini sebelumnya diklasifikasikan Rentan oleh IUCN.
Pada tahun 2008, status burung ini berubah menjadi “Kurang Data” berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya.
Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018, burung ini belum masuk ke dalam satwa yang dilindungi.