Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei Microsoft terkait tingkat kesopanan digital dari pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya menunjukkan bahwa warganet Indonesia paling tidak sopan di Asia Tenggara.
Terkait hal itu, anggota Komisi I DPR RI Fraksi NasDem Muhammad Farhan mengatakan kepatutan dan kepantasan berbahasa serta bersikap di dunia digital memang diperlukan.
"Survei ini menunjukan bahwa memang masalah utama dalam bergaul di dunia digital adalah kepatutan dan kepantasan berbahasa dan bersikap," ujar Farhan, ketika dihubungi Tribunnews.com, Selasa (2/3/2021).
Baca juga: Airlangga Hartarto: Microsoft Resmi Membangun Pusat Data Regional di Indonesia
Farhan menilai semua pihak harus turun tangan membenahi diri sendiri dalam bergaul di dunia digital.
Sebab, kata dia, kini dunia digital adalah realme atau dunia baru dalam kehidupan sosial saat ini di seluruh dunia, tak hanya di Indonesia saja.
"Secara hukum dan regulasi pun, kita harus kritis dan terus menerus melakukan review atau tinjauan ulang kepada semua aturan hukum di seputar dunia telematika," kata Farhan.
Sebelumnya diberitakan, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang komputer di AS, Microsoft, melaporkan hasil studi tahunannya, "Civility, Safety, and Interactions Online 2020". Hasil ini dirilis bersamaan dengan temuan dari Digital Civility Index ( DCI) 2020.
Studi ini bertujuan untuk mengukur tingkat kesopanan digital dari pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya.
Mengutip Kompas.com (26/2/2021), studi ini dilakukan dengan metode survei yang melibatkan 16.000 responden di 32 wilayah.
Survei tersebut mencakup responden remaja sampai orang dewasa tentang interaksi online mereka dan pengalaman mereka menghadapi risiko online.
Pelaksanaan survei ini berlangsung sejak April hingga Mei 2020.
Disebutkan bahwa riset ini mencakup 9 wilayah Asia-Pasifik (APAC), yaitu Australia, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Terkait topik kesopanan digital, Regional Digital Safety Lead, Asia-Pasifik, Microsoft, Liz Thomas menyampaikan, kesopanan digital dinilai sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong interaksi online yang positif.
Hal ini juga didukung situasi pandemi yang memungkinkan masyarakat lebih sering mengakses inetrnet.
"Melalui peringatan Safer Internet Day ini, kami diingatkan bahwa pemerintah, organisasi, dan individu memiliki peran dalam membantu menjadikan internet tempat yang lebih baik untuk bekerja dan bermain," ujar Thomas.
Negara paling tidak sopan se-Asia Tenggara
Dalam studi tersebut, DCI mematok skor untuk mengetahui kadar kesopanan warganet dari segi usia dan wilayahnya.
Semakin tinggi skor DCI, maka semakin buruk tingkat kesopananya.
Secara global, remaja berusia 13-16 tahun memiliki skor DCI sebanyak 63, sedangkan orang dewasa memiliki skor 72.
Berikut rincian skor untuk masing-masing negara di Asia Pasifik terkait kesopanan warganet:
1. Singapura, dengan skor DCI sebesar 59 poin
2. Malaysia, dengan skor DCI sebesar 63 poin
3. Filipina, dengan skor DCI sebesar 66 poin
4. Thailand, dengan skor DCI sebesar 69 poin
5. Vietnam, dengan skor DCI sebesar 72 poin
6. Indonesia, dengan skor DCI sebesar 76 poin
Perlu diketahui, Microsoft tidak memaparkan laporan DCI untuk negara Asia Tenggara lainnya.
Namun, mereka mengungkapkan bahwa warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara.
Penyebab risiko kesopanan
Dilansir dari Kompas.com (25/2/2021), ada tiga faktor yang berpengaruh pada risiko kesopanan di Indonesia.
Pertama adalah hoaks dan penipuan. Pada faktor ini paling tinggi skornya dengan 47 persen.
Kedua, faktor ujaran kebencian berada pada 27 persen. Ketiga, faktor diskriminasi sebesar 13 persen.
Di sisi lain, sebanyak 4 dari 10 responden mengaku bahwa tingkat kesopanan warganet Indonesia semakin membaik.
Menurut mereka, hal itu didorong oleh rasa kebersamaan yang lebih besar dan saling tolong-menolong di media sosial.
Selain itu, nilai empati di Indonesia mengalami kenaikan 11 poin menjadi 59 persen. Kemudian, berita di media menjadi kontributor kedua dengan persentase 54 persen.