TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dualisme kepengurusan dalam Partai Demokrat terjadi pasca kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum.
Dengan ini, ada dua kubu di Partai Demokrat. Yaitu kubu Munas 2020 dimana Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum, dan kubu KLB 2021 dengan Moeldoko sebagai ketua umum.
"Perkembangan terakhir ini berarti melahirkan adanya kepengurusan ganda di Partai Demokrat."
"Yang pertama, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan ketua umum AHY."
"Kemudian versi KLB, lembaga majelis tinggi ditiadakan, ada dewan pembina diketuai Marzuki Alie, ketua umumnya Moeldoko, dengan AD/ARTnya sendiri yang katanya mirip dengan kongres Demokrat 2005," ujar pengamat politik Muhammad Qodari, Sabtu (6/3/2021).
Berkaca pada pengalaman partai politik lain ketika terjadi dualisme kepengurusan, Qodari mengatakan Partai Demokrat dapat dipastikan akan mengalami perdebatan politik yang berujung ke proses pengadilan.
Proses itu, kata dia, akan memakan waktu yang tak sebentar alias tahunan.
Karenanya hal tersebut perlu segera diselesaikan jika Partai Demokrat ingin berlaga di Pemilu 2024 mendatang.
"Berdasarkan pengalaman partai lain, proses pengadilan terkait sengketa itu memakan waktu tahunan."
"Nanti kalau sudah keluar keputusan dari Mahkamah Agung baru akan disahkan oleh Departemen Kehakiman."
"Selanjutnya dengan dasar itu akan berproses di KPU," ungkap Qodari.
"Jadi dengan melihat jadwal pemilu adalah 2024 maka harusnya itu selesai sebelum tahun 2024, karena kalau tidak akan terjadi perdebatan yang akan merepotkan KPU jika keduanya mengajukan calon ke KPU."
"KPU-nya bisa jadi korban karena didesak oleh kubu Munas 2020 dan kubu KLB 2021," imbuhnya.
Di sisi lain, Qodari melihat ada dua skenario yang bisa terjadi kepada Partai Demokrat.
Skenario pertama sengketa diselesaikan lewat pengadilan seperti yang terjadi pada PKB ataupun PPP.