Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan harusnya eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono dihukum lebih berat.
Hal tersebut lantaran Nurhadi dan Rezky Herbiyono pernah menyandang status sebagai daftar pencarian orang (DPO).
Sebagaimana diketahui, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Nurhadi dan Rezky Herbiyono 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Tak Terima Vonis Rendah Nurhadi, KPK Bakal Ajukan Banding
Salah satu pertimbangan meringankan dalam vonis itu adalah Nurhadi dianggap telah berkontribusi dalam pengembangan MA.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni 12 tahun penjara untuk Nurhadi dan 11 tahun penjara untuk Rezky Herbiyono.
"Mestinya hakim juga mempertimbangkan hal yang memberatkan adalah Nurhadi buron dan menjadi DPO sehingga tidak cukup jika hanya dikenakan penjara 6 tahun," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Tribunnews.com, Kamis (11/3/2021).
Baca juga: Alasan Hakim Cuma Vonis Nurhadi 6 Tahun Penjara: Berjasa Dalam Kemajuan MA
Sekadar mengingatkan, Nurhadi sempat menjadi buron KPK. Ia ditetapkan buron pada Februari 2020 setelah berkali-kali mangkir saat dipanggil KPK baik sebagai saksi maupun tersangka.
KPK telah menggeledah 13 rumah yang disebut milik Nurhadi.
Selain itu, KPK juga pernah menggeledah sejumlah lokasi di Jawa Timur yang diduga merupakan tempat persembunyian Nurhadi.
Pernah tersiar kabar bahwa Nurhadi bersembunyi di sebuah apartemen mewah dengan penjagaan ketat dari aparat.
Pada akhirnya, Nurhadi dan Rezky dapat ditangkap di sebuah rumah kawasan Simprug, Jakarta Selatan, Senin (1/6/2020).
"Di salah satu kamar ditemukan tersangka NHD (Nurhadi) dan di kamar lainnya ditemukan tersangka RHE (Rezky Herbiyono) dan langsung dilakukan penangkapan terhadap keduanya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers, Selasa (2/6/2020).
Penangkapan Nurhadi dan Rezky berawal dari laporan masyarakat yang diterima KPK pada Senin petang pukul 18.00 WIB.
Berbekal informasi tersebut, tim KPK bergerak menuju sebuah rumah di Simprug yang disebut tempat persembunyian Nurhadi dan Rezky Herbiyono.
Lebih lanjut, Boyamin pun membandingkan vonis Nurhadi dengan vonis terhadap Pinangki Sirna Malasari terkait suap di kasus Djoko Tjandra.
Ia heran Pinangki mendapat vonis 10 tahun. Sementara, Nurhadi yang dinilai memiliki jabatan lebih berkuasa daripada Pinangki hanya mendapat vonis hukuman 6 tahun.
"Dalam kasus Djoko Tjandra itu Pinangki aja kena 10 kan gitu kan. Itu kan juga suap. Dan suapnya berapa, cuma 5 miliar kan gitu kan, eh sori 7 miliar gitu kan. Tapi dia kena 10 tahun. Sama-sama nerima suap. Pinangki jabatannya apa, bawah banget dan dia tidak bisa mempengaruhi apa-apa, kan gitu kan," katanya.
"Kalau Nurhadi kan levelnya di pimpinan Mahkamah Agung yang melayani hakim agung hakim agung karena Sekretaris MA gitu kan, mengurusi administrasi dan sebagainya jadi hubungan kedekatannya tuh ada. Tapi kalau Pinangki kan dalam pengertian itu kan pangkatnya rendah hanya coba mempengaruhi pimpinan-pimpinan kan gitu kan dan itu pun belum berhasil," imbuhnya.
Meskipun menyayangkan putusan terhadap Nurhadi, namun Boyamin tetap menghormati keputusan hakim.
Di sisi lain, Boyamain setuju dan mendukung sikap jaksa yang akan mengajukan banding.
"Saya tetap menghormati keputusan karena berlaku asas res judicata, kita harus menghormati semua putusan hakim meskipun dianggap atau dirasakan salah. Jadi ya tetap menghormati putusan itu dan ya saya hanya bisa mendorong jaksa tetap mengajukan banding," kata dia.