News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

World Kidney Day 2021, KPCDI: Mendamba Hadirnya Negara untuk Pasien Gagal Ginjal Kronik di Indonesia

Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir (kanan) bersama Sekretaris Jenderal KPCDI, Petrus Hariyanto (kiri) saat menghadiri acara World Kidney Day 2019 di Lampung

Para ahli bahkan menilai proses transplantasi ginjal sangat direkomendasikan sebagai terapi yang lebih baik dibandingkan Renal Replacement Therapy (RRT) lainnya karena kualitas hidup pasien gagal ginjal akan jauh lebih baik dan membuat pembiayaan pengobatan semakin efektif dan efisien.

Data BPJS Kesehatan per tahun 2020 memperlihatkan bahwa untuk satu kali tindakan transplantasi ginjal untuk satu orang adalah Rp341 juta.

Angka tersebut jauh lebih ringan dibandingkan untuk melakukan hemodialisa yang memakan anggaran Rp 92 juta per tahun untuk satu orang dimana proses tersebut dilakukan dua kali seminggu.

Sementara biaya satu pasien untuk melakukan proses Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah Rp76 juta per tahun.

Jika ditotal, dari tahun 2018 sampai tahun 2020, pembiayaan pelayanan kesehatan untuk diagnosa gagal ginjal telah menghabiskan anggaran Rp6,4 triliun--menempati posisi empat pembiayaan penyakit paling mahal di Indonesia.

Baca juga: Gugatan Ditolak MA, KPCDI akan Tagih Janji ke Wakil Rakyat Soal Kenaikan Iuran BPJS

Kata Ketua Umum KPCDI

Sementara itu, Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir menilai, WKD 2021 dijadikan momentum untuk seluruh pihak baik itu pemerintah, organisasi profesi dokter, BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara kebijakan, dan seluruh pihak yang peduli terhadap kesehatan, utamanya penyakit ginjal untuk bekerja bersama-sama demi satu tujuan yakni meningkatkan pelayanan kesehatan yang baik untuk pasien serta mengamkampanyekan pola hidup yang sehat.

Menurut Tony, selama ini KPCDI masih menemukan tingginya ego sektoral dan sikap mental antar masing-masing pihak yang bekerja secara individual. Jika sikap tersebut dipertahankan, maka hal itu akan menjadi hambatan besar dalam mencapai efektifitas dan efisiensi kebijakan.

"Sebuah hambatan kebijakan dalam mewujudkan aturan bagi pasien yang sesuai dengan isu yang berkembang saat ini. Jadi rekomendasi kebijakannya itu tidak hanya bersifat normatif semata," ujarnya.

Di sisi lain, Tony melihat sampai hari ini pemerintah masih juga belum mau merangkul pasien untuk terlibat aktif di dalam proses pembuatan dan pembahasan kebijakan. Padahal, bagi Tony pasien adalah orang pertama yang merasakan efek dari kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat.

Baca juga: Gugatan Kenaikan Iuran BPJS Ditolak MA, KPCDI Belum Terima Salinan Putusan

Dari perspektif pasien, sudah seharusnya pemerintah tidak lagi menomor duakan pasien. Pasien harus duduk di sebelah pemerintah untuk sama-sama menemukan jawaban terhadap isu-isu yang berkembang dilapangan.

Artinya, pemerintah harus segera aktif merangkul organisasi pasien agar pasien merasa terlibat untuk tujuan mulia yaitu memberi masukkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

"Pemerintah kita disini masih kurang perannya, pasien seperti dianak tirikan. Hanya sebagai objek penderita" tegasnya.

Kini, sudah saatnya pemerintah membuka diskusi atau forum seluas-luasnya untuk mencapai satu kebijakan yang berpihak kepada pasien. Ingatlah, pada akhirnya semua orang, baik itu si kaya atau si miskin akan menjadi seorang pasien yang terbaring lemah dan pada saat itu pula mereka membutuhkan fasilitas pelayanan kesehatan yang optimal dari negara.

"Untuk apa? Untuk kualitas hidup yang lebih baik nantinya, dan masyarakat kembali sehat dan produktif untuk negara yang lebih kuat," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini