TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra menyebut dirinya jadi korban vonis opini perorangan atau opini publik, bahkan sebelum perkara dugaan suap penghapusan red notice ini bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Jauh sebelum perkara ini disidangkan, saya telah dijatuhi vonis oleh opini orang perorangan yang diklaim sebagai opini publik," kata Djoko Tjandra membaca nota pembelaan (pleidoi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/3/2021).
Ia mengaku banyak pihak yang tidak pernah ikut proses persidangan, tapi malah menghakimi dengan meminta majelis hakim menghukum berat bahkan seumur hidup.
Djoko Tjandra kemudian menanggapi bahwa opini tersebut hanya didasari pada nafsu belaka yang senang melihat orang lain menderita, dengan mengabaikan fakta - fakta yang terungkap dalam persidangan.
"Ada yang tidak pernah mengikuti persidangan ini dari hari ke hari, tetapi lewat apa yang disebut sebagai opini publik, meminta Majelis Hakim untuk menghukum saya seberat-seberatnya, bahkan menghukum saya seumur hidup," ucap dia.
"Apa dasarnya? Tidak lebih daripada prasangka dan nafsu untuk menghukum orang lain serta kesenangan melihat orang lain menderita," sambungnya.
Sambil mengutip kata - kata seorang wartawan dan penulis Amerika Serikat di abad 20, Henry Grantland Rice, Djoko Tjandra mengatakan mereka yang membuat keputusan sendiri adalah orang bijak, sedangkan orang bodo hanya mengikuti oponi yang berkembang di publik.
"Orang bijaksana membuat keputusan - keputusan sendiri, sedangkan orang bodoh mengikuti opini publik," kata Djoko Tjandra.
Baca juga: Kuasa Hukum Yakin Pledoi Djoko Tjandra Dikabulkan Majelis Hakim PN Jakarta Timur
Atas dasar itu dia yakin majelis hakim adalah kumpulan orang bijak yang akan memeriksa dan mengadili serta membuat keputusannya sendiri berdasarkan fakta, tanpa bisa dipengaruhi oleh opini publik yang sifatnya subjektif atau prasangka.
"Saya percaya dan meyakini bahwa Majelis Hakim Yang Mulia adalah orang-orang bijaksana yang akan memeriksa, mengadili, dan membuat keputusan sendiri berdasarkan kebenaran fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan ini, dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh opini-opini publik," ucapnya.
Sebelumnya, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara dan dendan Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Djoko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengkritisi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Djoko Tjandra. Menurutnya Djoko Tjandra yang terbukti menyuap institusi penegak hukum harusnya dijatuhi hukuman maksimal.
Bahkan kata dia, model hukuman bagi terdakwa seperti Djoko Tjandra seharusnya layak diganjar penjara seumur hidup.
"Dapat dibayangkan, hukuman maksimal bagi pelaku pemberi suap hanya lima tahun penjara. Model ini sebenarnya tidak layak bagi seorang Djoko Tjandra, yang harusnya dapat dihukum penjara seumur hidup," kata Kurnia.