TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan kasus korupsi ekspor benur lobster untuk terdakwa Suharjito, Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) pada Rabu (17/3/2021).
Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dihadirkan sebagai saksi.
Di persidangan, Edhy membeberkan alasan membuka keran ekspor benur lobster.
Mulanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya apa alasan dan tindak lanjut Edhy soal rencana pembukaan ekspor benur lobster. Mengingat di masa kepemimpinan menteri sebelumnya, jenis bisnis ini dilarang total.
Disampaikan Edhy, berdasarkan penuturan ahli yang tergabung dalam tim kajian Kementerian Kelautan dan Perikana (KKP), setidaknya ada 1 juta telur atau benih lobster di alam saat musim panas panjang.
Tapi berdasarkan kajian pula, peluang benih - benih lobster itu untuk hidup dan tumbuh besar hanya 0,01 persen atau cuma 1.000 dari 1 juta benih tersebut.
Baca juga: Edhy Prabowo dan Istri Hari Ini akan Bersaksi di Sidang Kasus Suap Ekspor Benih Lobster
"Selain kajian jumlah, kami juga menghitung berapa potensi lobster yang dewasa yang dilepaskan ke alam. Lobster itu kalau hidup di alam, itu jumlahnya yang akan hidup hanya 0,01 persen saja. Jadi itu sangat kecil. Makanya setiap 1 juta lobster di alam, kalau kita biarkan di alam maka yang akan hidup hanya 1.000," kata Edhy yang terhubung secara virtual, di ruang sidang.
Hasil berbeda terjadi jika benih - benih lobster yang ada di alam dibesarkan atau dibudidaya oleh masyarakat secara tradisional, seperti membesarkannya di keramba atau tambak dengan sejumlah syarat.
Bila hal itu yang dilakukan, maka kata Edhy potensi lobster tumbuh besar dan dimanfaatkan, naik signifikan hingga angka 70 persen.
"Jadi lobster diambil dari alam, dibesarkan di keramba atau tambak, ini bisa sampai 30 persen. Kalau pembudidayaannya bisa secara lebih produktif lagi, yaitu misalnya karena lobster ini besarnya harus kedalaman minimal 5-6 meter. Kalau sampai kerambanya kedalaman 5-6 meter, potensi pembesarannya itu bahkan mendekati angka 70 persen," ungkap Edhy.
Mantan politikus Partai Gerindra ini kembali menegaskan semua kajian yang ia paparkan bukan keluar dari mulutnya sendiri. Tapi berdasarkan rujukan dan kajian para ahli.
"Sekarang perbandingannya, kalau dilakukan di alam hanya 0,01 persen. Tapi kalau ada yang membudidayakan, bukankah ada gap sangat besar yang bisa dimanfaatkan?," ucap Edhy.
"Ini semua, bukan mulut seorang menteri. Ini semua adalah para ahli yang buat, ada rujukannya semua," sambungnya.