TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta tidak membuat kebijakan dan ketergantungan ekonomi pada sektor ekstraktif yang berpotensi besar mengakselerasi kerusakan alam, maupun krisis iklim.
"Pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk memprioritaskan ekonomi hijau, sebagai bagian dari pemulihan yang berkelanjutan," ujar Direktur Riset Indef Berly Martawardaya saat webinar bertema Keluar dari Ekonomi Ekstraktif, Menuju Hijau dan Inklusif, Kamis (18/3/2021).
Namun, kata Berly, pemerintah tidak memanfaatkan kondisi saat ini, yang terlihat dari penyaluran stimulus fiskal untuk program hijau hanya 8 persen.
"Ini pun digunakan untuk energi yang masih menghasilkan emisi yakni subsidi biofuel. Pemerintah seharusnya peka terhadap tren global, di mana banyak investor besar yang prioritaskan aspek environmental, social, dan governance sebagai kriteria utama dalam berinvestasi di sebuah negara," papar Berly.
Diacara yang sama, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustaya mengatakan, Indonesia masih tergantung pada ekspor komoditas primer sebesar 39,2 persen pada 2019.
Baca juga: LPS Yakin Ekonomi Indonesia Tidak Jatuh Lebih Dalam Lagi Tahun Ini
Menurutnya, dibanding negara Asia Tenggara lainnya, porsi sektor primer dan ekstraktif Indonesia sangat besar dalam postur ekonomi, sehingga perlu diubah.
"Keberpihakan pada sektor ekstraktif merusak lingkungan dan mempengaruhi kesehatan masyarakat, juga membuat perekonomian Indonesia tidak berkelanjutan dan tidak inklusif," kata Tata.
"Kondisi tersebut, hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi-politik yang akhirnya membentuk oligarki," sambungnya.