“Highlight, data awal harus dibawa sampai akhir. Akhirnya punya perbandingan. Kita harus cari core masalah seseorang itu mengapa sehingga terpapar radicalism,” kata Reno.
“Ini yang harus dibawa ke posisi netral. Tak bisa langsung jadikan nol. Butuh banyak elemen lain untuk deradikalisasi seseorang,” kata Reno Fitria.
Mengenai munculnya persepsi dan pandangan kasus teror di Indonesia ini konspiratif, menurut Reno secara psikis masyarakat cenderung sulit menerima sesuatu yang sebelumnya lekat dengan mereka.
Misalnya soal pelaku teror yang Islam, dari dalam diri ini ada penyangkalan (denial), agamaku tak seperti itu kok. Akhirnya yang muncul penyangkalan berulang-ulang,” jelasnya.
“Sekali menyangkap, berikutnya akan terulang. Orang seperti ini rentan dimasuki paham radikal. Mereka benci pemerintah, lalu mereka dimainkanlah. Ini sangat dekat dengan kehidupan kita,” imbuhnya.
Indoktrinasi Orang Jadi Radikal Bisa Cepat
Menurut Nasir Abbas yang pernah jadi instruktur jihadis di JI, meradikalisasi seseorang itu tidak sulit. Cara indoktrinasinya disentuh lewat pertanyaan paling sederhana.
“Simpelnya begini. Kita muslim, orang yang ingin mempengaruhi kita bertanya, Anda muslim? Kitab sucinya apa? Alquran. Sudah baca semua. Tahu gak ada perintah-perintah Allah yang belum kita lakukan,” beber Nasir.
“Ini ada ayat Quran yang memerintahkan kita membunuh orang kafir di manapun berada. Baca saja ayat ini. Ini perintah Allah, Anda muslim, Anda harus jalankan perintah Allah…..dan seterusnya . Ayat-ayat perang dipakai di tempat damai. Ini kekeliruan karena salah konteks,” lanjut Nasir Abas.
Itu menurut Nasir Abas metode paling awal dan sederhana yang dipakai perekrut dan mentor-mentor jihadis untuk meradikalisasi seseorang yang masuk kelompoknya.
Mengatasi radikalisme dan intoleransi seperti ini, Nasir Abas menyarankan pemerintah dan semua pihak melakukan sekurangnya dua langkah.
Pertama, memikirkan soal kesejahteraan mereka supaya bisa survive. “Bukan membuat mereka kaya,” katanya.
Kedua, intervensi paham. Harus ada sentuhan paham mereka dan harus diluruskan. Termasuk juga wawasan kebangsaan, toleransi. Kedua hal ini harus dibentuk.
“Ini soal ideologis. Surga itu bagi yang sudah menikah, bagi perempuan ada di bawah kaki suami. Bagi perempuan bujang ada di bawah kaki ayah,” kata Nasir Abas.