TRIBUNNEWS.COM - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat sejak tahun 2008 hingga 2021, tercatat ada 10 siklon torpis yang melanda Indonesia.
Sejak 2008 hingga 2016, dalam kurun waktu delapan tahun, tercatat hanya ada tiga siklon tropis, yakni Durga (2008), Anggrek (2010) dan Bakung (2014).
Jumlah tersebut bisa dibilang sedikit karena memang Indonesia sedianya bukanlah daerah lintasan siklon tropis karena daerahnya yang relatif dekat dengan khatulistiwa.
Namun demikian intensitas terjadinya siklon tropis ini semakin meningkat sejak 2017 hingga 2021 ini dan terjadi setiap tahunnya.
Tropical Cyclone Warning Centre (TCWC) milik BMKG mencatat pada 2017 dan 2018 tercatat ada dua siklon tropis dalam kurun satu tahun.
Baca juga: Apa Perbedaan Siklon Tropis Seroja dengan Siklon Sebelumnya yang Melanda Indonesia? Ini Kata BMKG
Baca juga: Daftar 10 Siklon Tropis yang Dicatat BMKG Pernah Melanda Indonesia, Seroja Terbaru
Siklon tersebut diantaranya Cempaka dan Dahlia (2017), Flamboyan dan Kenanga (2018), Lili (2019), Mangga (2020) dan Seroja (2021).
“Di Indonesia telah tercatat sejak 2008 ada 10 tropical cyclon (siklon tropis). Namun 2008 terjadi sekali. Baru terjadi 2010. Berikutnya baru terjadi 2014, jadi sekitar 2 sampai 4 tahun sekali," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat konferensi pers Selasa (6/4/2021) pagi.
"Tetapi sejak 2017 itu setiap tahun selalu terjadi, bahkan dalam satu tahun bisa sampai dua kali," sambung Dwikorita, seperti disiaran langsung dari kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Lantas mengapa intensitas terjadinya siklon tropis semakin rutin terjadi?
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menerangkan bahwa salah satu penyebab terjadinya siklon yakni karena naiknya suhu muka air laut di wilayah perairan.
"Ini sebagai salah satu dampak naiknya suhu muka air laut diwilayah perairan tersebut yang tercatat sudah mencapai 30 derajat celsius yang mestinya rata-rata 26 derajat celcius," kata Dwikorita saat jumpa pers, Selasa (6/4/2021) pagi.
Ia pun menduga bahwa terjadinya siklon tropis ini masih berkaitan dengan dampak pemanasan global/global warming.
"Barangkali kita perlu mengevaluasi karena penyebabnya adalah semakin panasnya suhu muka air laut, yang tentunya laut itu tempat mengobsorsi C02, dan itu adalah dampak dari gas rumah kaca," kata dia.
"Bisa dirunut ke sana, ini baru hipotesis, tapi ada korelasi dengan peningkatan suhu muka air lait yang dipengaruhi juga oleh global warming," sambungnya.
Ia pun mengingatkan agar fenomena global warming menjadi perhatian bersama dan harus benar-benar dimitigasi.
"Global Warming memang benar-benar harus dimitigasi, kalau tidak kejadian siklon ini akan menjadi kejadian rutin setiap tahun, menjadi hal yang normal," jelasnya.
Baca juga: Jokowi Kirim 28 Ribu Paket Sembako untuk Korban Bencana di NTB dan NTT
Beda Siklon Seroja dan Siklon Sebelumnya
Siklon tropis Seroja yang melanda wilayah Nusa Tenggara Timur pada Senin (5/4/2021) memiliki perbedaan dengan siklon sebelumnya yang pernah melanda wilayah Indonesia.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati bahkan menyebut jika siklon tropis Seroja ini tidak wajar.
Dwikorita menyebut siklon tropis Seroja ini merupakan siklon ke-10 yang terdeteksi semenjak tahun 2008.
Ia menyebut tak wajar karena Siklon Tropis Seroja ini masuk ke wilayah daratan, sehingga memberikan efek dampak yang luar biasa.
Padahal, lazimnya siklon tropis terjadi di wilayah perairan laut dan tak sampai ke daratan.
"Padahal pada umumnya siklon yang terjadi tidak masuk ke daratan," kata Kepala BMKG saat konferensi pers, Selasa (6/4/2021) pagi seperti disiarkan YouTube Sekretariat Presiden.
Ia memberikan contoh, Siklon Tropis yang pernah melanda wilayah Indonesia sebelumnya yakni siklon Cempaka tahun 2017 lalu.
Baca juga: BMKG Sebut Prediksi Badai Siklon Tropis Seroja Sudah Disampaikan ke Daerah
Baca juga: BMKG Buat Grup WA Pengungsi Korban Banjir NTT, Infokan Perkembangan Cuaca dan Peringatan Dini
Pada Siklon Cempaka, pusat siklon berada di wilayah luat dan yang masuk ke daratan hanyalah bagian ekor siklon saja.
Meski begitu, efek yang terjadi kala itu juga cukup menimbulkan cuaca ekstrem di wilayah selatan jawa seperti Pacitan, Gunung Kidul dan Bantul.
Dwikorita lantas menunjukkan citra satelit dari siklon tropis Cempaka yang sempat menerjang wilayah Jawa Tengah dan DIY bagian selatan pada November 2017 lalu.
"Dan yang masuk ke darat hanya ekor yang warna biru-hijau. Begitu masuk ke darat, sebelumnya langsung pecah terurai. Namun ini (siklon Seroja) mulai berkembang saja sudah kena pulau. Dan itulah yang membuat lebih dahsyat," kata Dwikorita.
Sedangkan siklon Seroja yang terjadi di NTT, pusaran terbesar terjadi di daratan.
Bahkan di awal pembentukannya, kecepatan pusaran siklon ini mencapai 85 km per jam.
"Yang saat ini, mulai berkembang saja sudah kena pulau, itu yang membuat lebih dahsyat, bayangkan saat terbentuk kecepatan pusarannya 85 km per jam," kata dia.
"Saat terbentuk itu sudah masuk di Kupang, yang merahnya yang pusarannya tinggi berada di darat," terangnya.
Dwikorita pun menyebut bahwa kejadian seperti Siklon Seroja ini, siklon yang masuk ke daratan, baru pertama kali terjadi Indonesia.
"Ini yang baru pertama kali terjadi di Indonesia," ungkapnya.
"Nampaknya merupakan yang paling kuat dari yang sebelum-sebelumnya," ungkap Dwikorita.
(Tribunnews.com/Tio)