Di ruang tamu, terdapat sejumlah perabotan tua seperti sejumlah bangku, meja, lampu gantung dan sebuah cermin di dinding. Rumah ini terdiri dari empat kamar dan satu kamar mandi.
Bambang bercerita bahwa plafon rumah ini terbuat dari kayu jati besi yang sudah berusia hampir 300 tahun.
Baca juga: Stadion Bersejarah Persikota-Persita Tangerang Direnovasi: Stadion Benteng Jadi Fasilitas Publik
Saat kepala saya menengadah ke atas, terlihat plafon bercat putih itu sudah lapuk.
Semenjak Achmad Soebardjo tutup usia, rumah itu ditinggali oleh anak dan cucunya.
Kini, ada tiga keluarga yang masih mendiami rumah tersebut.
Tak berselang lama, Ibu Laksmi menghampiri saya. Anak sulung dari lima bersaudara ini bersedia menggali kembali kenangan kala ayahnya membeli rumah ini.
Dibeli dari Orang Belanda
Kala itu, kenang Laksmi, keluarga Achmad Soebardjo tinggal di Jalan Palem, Menteng, Jakarta Pusat. Disana mereka menyewa sebuah rumah tinggal.
Kemudian ketika Jepang mengambil alih pemerintahan Belanda pada tahun 1942, keluarga mereka mulai mencari rumah tinggal baru.
Saat Jepang masuk, banyak orang-orang Belanda yang ditahan dan dijebloskan ke dalam kamp interniran. Peristiwa itu menyebabkan banyak rumah-rumah yang dihuni orang Belanda kosong.
"Waktu Jepang masuk, itu banyak rumah yang kosong karena Belanda-Belanda (orang) dipenjara sama Jepang. Jadi banyak rumah kosong," ungkapnya kepada TribunJakarta.com Jumat (16/4/2021).
Laksmi melanjutkan Achmad Soebardjo dan anak-anaknya kemudian berkeliling melihat-lihat sejumlah rumah yang kosong itu. Mendiang Achmad Soebardjo memutuskan untuk pindah lantaran rumah yang ditempatinya saat itu lebih kecil.
Sampai suatu ketika, mereka menemukan sebuah rumah kosong berlanggam kolonial era 1800-an di tepi Jalan Cikini Raya. Mereka pun menambatkan hati kepada rumah itu.
"Lalu kita jalan-jalan ke sini (kawasan Cikini) lihat-lihat rumah, rumah ini satu-satunya yang kosong," lanjutnya.