Konstruksi menamatkan KPK itu kata dia, dimulai dari revisi UU Nomor30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
“Kasus TWK ini tidak bisa dilepaskan dengan tahapan pertama yaitu revisi Undang-Undang KPK, kemudian diikuti revisi Undang-Undang Minerba, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Omnibus Law Cipta kerja,” jelasnya.
“Dari rangkaian-rangkaian ini, kesimpulan besar saya adalah fakta dan gejala-gejala itu menggambarkan pemerintah itu memang terindikasi tidak lagi melemahkan tetapi berusaha untuk menamatkan riwayat KPK,” tambahnya.
Dia mengatakan upaya untuk menamatkan KPK itu sebenarnya sudah dimulai pada pemerintahan sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Cuma Presiden sebelumnya itu akhirnya mendengar, dan melakukan sikap menyetop revisi UU KPK,” ujarnya.
Namun, di era Presiden Jokowi, revisi UU KPK itu kata dia, berhasil tuntas.
“Kalau revisi UU KPK itu merupakan amputasi politik terhadap KPK, eh ternyata itu tidak cukup. Sisa-sisa pertahanan terakhir orang-orang yang militan dalam arti positif itu dimasukkan kategori 75 orang ini. Kemudian 75 orang itu diamputasi. Kalau KPK itu sebagai lembaga diamputasi, 75 orang itu kemudian diamputasi. Pertahanan terakhir ini ada di tangan 75 ini,” ucapnya.