News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Seleksi Kepegawaian di KPK

Manipulatif dan Sungguh Ironis, Pimpinan KPK Tolak Cabut SK Penonaktifan 75 Pegawai

Penulis: Gita Irawan
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (8/7/2019)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai alasan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menolak mencabut SK penonaktifan 75 pegawai KPK manipulatif.

Menurut Usman, alasan penolakan tersebut dengan dalih good governance juga ironis.

Hal tersebut disampaikannya menanggapi pernyataan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, yang menggunakan prinsip good governance sebagai alasan untuk tidak mencabut surat keputusan yang memuat penyerahan tugas dan tanggung jawab bagi yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

“Sangat ironis pimpinan KPK menolak membatalkan surat keputusan penonaktifan 75 pegawai KPK dengan alasan good governance. Itu manipulatif. Keputusan pimpinan KPK itu cermin tata kelola kelembagaan yang buruk, bad governance," kata Usman dalam keterangan resmi Amnesty International Indonesia pada Kamis (3/6/2021).

Baca juga: Pesan Fahri Hamzah kepada KPK: Berantas Korupsi Pakai Otak, Jangan Pakai Otot

Good governance, kata dia, seharusnya mengikuti prinsip transparansi, kesetaraan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di antaranya hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan keyakinan. 

Baca juga: Pimpinan KPK Tolak Pencabutan SK Penonaktifan Pegawai yang Tak Lolos TWK, Ini Alasannya

"Apa yang transparan dari proses TWK? Hak asasi apa yang dipenuhi? Semua prinsip good governance justru ditabrak," kata Usman.

Selain itu, kata dia, pimpinan KPK harus belajar tentang prinsip duty of care.  Setiap pimpinan, kata Usman, wajib menghormati dan melindungi hak-hak anggotanya, termasuk memperlakukan bawahannya secara setara. 

Baca juga: Komnas HAM Rampung Periksa 19 Pegawai KPK Terkait Tes Wawasan Kebangsaan

Duty of care, menurut Usman, mewajibkan pimpinan KPK bersikap hati-hati. Selain itu, kata dia, good governance juga seharusnya memastikan bahwa karyawan dinilai karena kinerja dan kompetensi, bukan kemurnian ideologisnya. 

Menurut Usman good governance juga seharusnya berorientasi pada pemenuhan kepentingan rakyat. 

"Bacalah laporan Indonesia Corruption Watch, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 56,7 triliun pada 2020, empat kali lipat dari kerugian negara pada 2019. Itu lebih besar dari anggaran BPJS Kesehatan (Rp 48,8 triliun), anggaran bantuan sosial tunai untuk pekerja berpenghasilan rendah (Rp 37,9 triliun), dan bantuan sembako (Rp 47,2 triliun)," kata dia.

Dengan berlarutnya pandemi dan meluasnya program bantuan sosial, kata Usman, potensi penggelapan dan penyelewengan dana pemerintah juga meningkat. 

"Dalam situasi ini good governance seharusnya diterapkan dengan memastikan KPK tetap diperkuat oleh pegawai-pegawai terbaiknya yang dapat mengawasi dan mencegah penyalahgunaan uang negara yang ditujukan untuk memenuhi hak masyarakat Indonesia atas penghidupan yang layak," kata Usman.

Latar belakang

Pada tanggal 7 Mei, pimpinan KPK menerbitkan SK Nomor 652 tahun 2021 yang menyatakan bahwa 75 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan harus menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan.

Pada tanggal 17 Mei, tujuh dari 75 pegawai tersebut, termasuk di antaranya Direktur Pembinaan Jaringan Antarkomisi KPK Sujanarko dan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Supradiono, mengirimkan surat keberatan kepada pimpinan KPK yang meminta agar SK tersebut dicabut.

Pada tanggal 3 Juni, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengirimkan surat balasan yang menyatakan bahwa SK tersebut tidak akan dicabut karena dianggap sudah sesuai dengan tugas dan kewenangan pimpinan KPK dan asas good governance.

Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) menjamin “hak atas kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan.”

Selain itu, hak individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Isinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.”

Definisi diskriminasi juga telah dijabarkan dalam Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1999, sebagai “setiap pembedaan, pengecualian, atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.”

Dalam hukum nasional sekalipun, hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) tentang kebebasan berkeyakinan di mana setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap mereka sesuai dengan hati nuraninya.

Diberitakan sebelumnya Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tak bakal mencabut Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 yang diterbitkan pada 7 Mei 2021. 

SK tersebut berisi soal nonaktif 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, SK tersebut merupakan tindak lanjut hasil asesmen TWK yang disampaikan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) kepada pimpinan KPK. 

Karena 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat untuk dialihkan menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ketua KPK Firli Bahuri 

"Kebijakan Pimpinan KPK tersebut, dilatarbelakangi adanya mitigasi risiko atau permasalahan yang mungkin timbul dengan adanya 75 pegawai KPK yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai pegawai ASN," ujar Alex dalam keterangannya, Kamis (3/6/2021).

Alex beralasan, SK Nomor 652 Tahun 2021 tanggal 7 Mei 2021 dikeluarkan oleh pimpinan KPK sesuai tugas dan kewenangan untuk merumuskan, menetapkan kebijakan dan strategi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Hal ini juga sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance), agar pelaksanaan tugas dapat berjalan efektif dan efisien," jelas Alex.

Pernyataan ini menanggapi permintaan sejumlah perwakilan 75 pegawai KPK yang dibebastugaskan atas kebijakan Firli Bahuri cs tersebut. 

"Berkenaan dengan hal-hal di atas, kami sampaikan bahwa pimpinan KPK tidak dapat memenuhi permintaan saudara Sujanarko, dkk untuk mencabut Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tanggal 7 Mei 2021," kata Alex.

Terkait kebijakan nonaktif 75 pegawai KPK ini, lima pimpinan KPK telah dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK.

Lima pimpinan KPK yang dilaporkan antara lain, Ketua KPK Firli Bahuri dan empat Wakil Ketua KPK antara lain, Lili Pintauli Siregar, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango. 

Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan menyampaikan, pelaporan terhadap pimpinan KPK dilakukan lantaran terjadi polemik akibat hasil TWK.

"Kenapa kami melaporkan pimpinan KPK pada hari ini? Karena kami melihat bahwa ada beberapa hal yang seharusnya tidak terjadi di lembaga antikorupsi seperti KPK. Hal ini juga merupakan suatu hal yang perlu kami perjuangkan demi kepentingan publik," kata Hotman di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (18/5/2021).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini