TRIBUNNEWS.COM - Epidemolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo turut menanggapi anjuran Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim untuk melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas mulai Juli 2021 mendatang.
Windhu menilai jika sebelum sekolah mulai dibuka dan keadaan Covid-19 masih seperti sekarang atau bahkan lebih parah harusnya kebijakan ini ditunda.
Mengingat saat ini angka penularan Covid-19 di Indonesia masih tinggi.
"Kalau memang dua minggu sebelum pertengahan Juli, kan kira-kira dibuka pertengahan Juli ya itu memang keadaannya seperti sekarang atau mungkin lebih parah dari sekarang, mungkin ya harusnya ditunda," kata Windhu dikutip dari tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Sabtu (5/6/2021).
Baca juga: Ini Alasan IDAI Belum Merekomendasikan Sekolah Tatap Muka di Indonesia
Namun yang perlu ditekankan adalah, selama testing dan tracing masih rendah, maka bisa saja yang dikatakan zona hijau ini ternyata masih terdapat kasus Covid-19 yang belum terdeteksi dan bisa memperparah penularan.
"Kecuali daerah yang memang, jadi kalau ada daerah provinsi, kabupaten atau kota yang baik. Ya sekarang pengertian baik itu apa."
"Karena kita ini terus terang saja, selama testing dan tracing lemah, jangan-jangan baik yang dikatakan hijau itu, hijaunya hijau semangka, atau kuningnya itu kuning delima. Jadi luarnya kuning dalemnya merah," terang Windhu.
Baca juga: Sekolah di Zona Hijau Disarankan Lakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Mulai Juli 2021
Positivity Rate Indonesia Melebihi 20 Persen
Lebih lanjut Windhu menegaskan selama posivity rate Indonesia masih di atas lima persen, maka seharusnya kondisinya tidak aman.
Mengingat jika menurut WHO jika posivity rate antara 5-19 persen, maka bisa disebut high incidence.
Sementara Indonesia ini sudah bukan lagi high incidence, tapi masuk ke dalam very high incidence.
Karena high incidence Indonesia secara nasional itu berada di atas 20 persen.
"Yang kita lihat dalam posivity rate, jadi selama posivity rate itu masih di atas lima persen itu seharusnya tidak aman. Karena itu WHO mengatakan kalau 5-19 persen lebih disebut high incidence."
"Kita ini tidak high incidence, posivity rate kita nasional itu diatas 20 persen dan itu masuk dalam golongan very high incidence," pungkas Windhu.