News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Unik

Jusuf Wanandi Justru Berceramah Soal Soeharto pada Perwira Interogator

Penulis: Febby Mahendra
Editor: cecep burdansyah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Satu di antara pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jusuf Wanandi menceritakan sosok Pendiri Kompas, Petrus Kanisius (PK) Ojong saat ditemui di kantor CSIS, Jakarta Pusat, Jumat (24/7/2020). TRIBUNNEWS/DENNIS DESTRYAWAN

TRIBUNNEWS.COM - MENJELANG reformasi 1998, situasi politik dan keamanan di tanah air memanas. Satu di antaranya adalah adanya ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta, 18 Januari 1998.

Peristiwa itu menyeret sejumlah tokoh, di antaranya pengusaha Sofjan Wanandi dan kakaknya, Jusuf Wanandi. Nama mereka tertera dalam surat elektronik (email) anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang tersimpan di komputer di lokasi kejadian.

Dalam surat elektronik itu terkesan Sofjan dan Jusuf Wanandi merupakan penyumbang dana kegiatan organisasi yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru Soeharto tersebut. Seorang pemuda anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang tak lain anak organisasi PRD,  ditangkap Polda Metro Jaya di lokasi kejadian. Ia menyebut  bom itu dibuat oleh PRD, yang saat itu menjadi organisasi terlarang.

Jusuf Wanadi menceritakan bagaimana ia menjalani interogasi di kantor Polisi Militer ABRI, kawasan Jl Guntur, Jakarta, pada Februari 1998. “Saya dimintai keterangan oleh anak-anak muda yang sopan dan tidak tahu identitas saya,” kata pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think-tank semasa Orde Baru.

Jusuf mengatakan ada orang meletakkan dokumen dan e-mail yang menyatakan ia dan adiknya, Sofjan Wanandi, memberikan dukungan dana untuk revolusi anti-Soeharto. Padahal ia mengaku tidak mengenal sama sekali kelompok itu (PRD).

“Saya tidak punya bukti siapa yang mencoba menyeret kami ke kejadian bom itu, tapi kami punya firasat,” tambah Jusuf Wanandi, dalam buku ‘Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998’ karya Jusuf Wanandi, Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Februari 2014.

Jusuf pernah diinterogasi Deputi Kepala Intelijen Militer, Zacky Anwar Makarim. Kemudian menjalani interogasi oleh polisi militer, dan polisi. Menurutnya, para interogator itu semua masih muda usia dan tidak berani berbuat kasar.

“Bapak tahu ini masa yang sulit . Ini tuduhan yang dilemparkan kepada Bapak. Apa pendapat Bapak? Apa jawaban Bapak,” ujar Jusuf Wanandi menirukan perkataan penyidik.

Pembicaraan dengan Zacky Anwar Makarim berlangsung secara bersahabat. Sedangkan dengan polisi militer berlangsung lebih seru karena Jusuf Wanandi justru berceramah dan menceritakan kembali perannya pada era 1965-1967 yang membawa Soeharto ke tampuk pemerintahan menggantikan Presiden Soekarno.

“Mengapa Anda beranggapan saya melawan Soeharto? Tahukah Anda, saya membantu agar Soeharto menjadi presiden? Di mana Anda pada 1965? Sudah tamat sekolah dasar apa belum? Saya ketika itu berada dalam kelompok yang bersama Soeharto menyusun bagaimana harusnya melawan  Orde lama. You tahu itu?”

Baca juga: Gigitan Semut Bikin Sintong Panjaitan Lolos dari Tembakan Pemberontak Papua

Terlambat ke jamuan makan siang

Begitu gaya Jusuf Wanandi yang pada era pemberontakan PKI berstatus sebagai tokoh mahasiswa pendukung Soeharto, ketika memberikan ceramah kepada personel polisi militer berpangkat mayor, letnan kolnel, dan kolonel tersebut.

Selama beberapa jam para perwira polisi militer itu duduk mendengarkan ceramah Jusuf Wanandi. Tak pelak pria kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, 15 Desember 1937 itu, tak lagi mendapat pertanyaan dari polisi militer.

Namun setelah rehat, polisi militer kembali mengajukan pertanyaan sehingg alumnus Universitas Indonesia (UI) tersebut marah. “Bukankah saya sudah menjelaskan, ia (Soeharto) tidak mungkin menjadi presiden karena tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Soekarno waktu itu. Tidak apapun! Ia hanya kutu, tidak berarti apa-apa dibandingkan Soekarno. Kalau bukan kami ujung tombak pasukannya, ia tidak bisa berkutik,” kata Jusuf Wanandi kepada para penyidik militer.

Jusuf juga mengungkapkan ketika kelompok pendukung Soeharto menjatuhkan Soekarno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, armada angkatan laut sudah siap di Teluk Jakarta dan pimpinan angkatan laut menunggu isyarat dari Bung Karno

“Marinir sudah mengarahkan sasaran mereka ke markas Kopassus. Kamu kira Soeharto kuat melawan Soekarno? Kalau benar-benar Bung Karno mau, siapa bisa melawan dia?” tambah Jusuf Wanandi. Para perwira polisi militer terperanjat, apalagi Jusuf menceritakan hal-hal mengenai hubungannya dengan Soeharto yang tak banyak diketahui masyarakat umum.

Menurut Jusuf Wanandi, penyidik mulai kelihatan letih. “Ok Pak, jadi kalau begitu Bapak setuju kami mengatakan keamanan baik, jadi kami akan membuat pernyataan begitu.”

Jusuf mengakui isi ceramahnya sebagian benar, sebagian lagi hanya drama. “Orang-orang itu tidak tahu apa-apa dan mereka menuduh saya tanpa tahu sejarah. Mereka menyangka bisa menaklukkan saya dengan interogasi ini,” tambah Jusuf Wanandi.

Setelah itu mereka tidak lagi melakukan interogasi. Polisi juga hanya melakukan wawancara formal pada hari berikutnya. Sebelum memulai pemeriksaan, polisi mengatakan, “Maaf Pak ini bukan keinginan kami, tapi kami melaksanakan perintah. Kami harus membuat laporan.”

Interogasi itu membuat Jusuf Wanandi terlambat untuk acara makan siang dengan Duta Besar Australia dan pejabat intelijen dari Canberra. Ketika akhirnya tiba di kediaman Duta Besar Australia pukul 14.00 WIB, sang tuan rumah berujar, “Wahh…. Kami benar-benar menjamu seorang yang baru keluar dari ruang interogasi.”

Jusuf Wanandi juga punya cerita lain terkait BJ Habibie, presiden pengganti Soeharto. Pada 1967, pemerintah Orde Baru mengirim Sofjan Wanandi ke Eropa untuk menjalin komunikasi dengan para mahasiswa Indonesia.

Sofjan duduk di kelas satu pesawat Lufthansa. BJ Habibie saat itu juga berada di pesawat yang sama, berbincang  keras dengan teman-temannya dalam bahasa Jerman. Sofjan tidak bisa istirahat sehingga mendatangi Habibie.

“Anda bayar untuk penerbangan ini, dan saya juga bayar. Saya ingin tidur, ok. Kalau mau bicara, silakan bicara di belakang, di kelas ekonomi. Saya tidak peduli Anda siapa,” ujar Sofjan. Habibie terdiam dan mengajak kawan-kawannya pindah ke belakang untuk meneruskan pembicaraan. (*)  

*Dikutip dari buku ‘Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998’, karya Jusuf Wanandi, Penerbit PT kompas Media Nusantara, Februari 2014.

Baca juga: Prajurit Kopassus Sintong Panjaitan Dikepung Warga Lembah X Pegunungan Jaya Wijaya Papua

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini