News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pajak Sembako

Polemik Sembako Bakal Kena Pajak, Komentar YLKI: Dari Sisi Etika, Tidak Pantas

Penulis: Shella Latifa A
Editor: Arif Fajar Nasucha
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi di acara jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (16/11/2018). - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi tanggapi polemik sembako bakal kena pajak: Dari Sisi Etika, Tidak Pantas.

TRIBUNNEWS.COM - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi memberi tanggapannya terkait rencana pemerintah bakal kenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako).

Menurut Tulus, pengenaan PPN pada sembako dinilainya tidak pantas, apalagi untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Hal itu diungkapkannya pada diskusi MNC Trijaya FM bertajuk Publik Teriak Sembako Dipajak.

"Ini menyangkut perut. Dari sisi etika, menurut saya kurang pantas atau bahkan tidak pantas kalau kemudian dikenai pajak PPN."

"Apalagi untuk kelas menengah bawah, yang 1 persen (pajak) sekali pun saya kira itu tidak layak," ucap Tulus, dikutip dari YouTube MNC Trijaya FM, Sabtu (12/6/2021).

Baca juga: Mau Pajaki Sembako, Pemerintah Perpanjang Diskon Pajak Barang Mewah untuk Mobil

Tulus mengatakan, dalam menentukan harga pangan tak hanya menyangkut soal besaran pajak.

Pemerintah dinilai perlu melihat efek psikologis rencana sembako dikenakan PPN ini, terhadap masyrakat.

Karena pada akhirnya, jangan sampai pemerintah akan kembali dinilai gagal dalam mengantisipasi segala permasalahan.

"Komponen harga dalam suatu komoditas pangan bukan hanya soal pajak, tapi juga efek-efek psikologis yang lain."

"Sehingga, pemerintah sering gagal mengantisipasi soal pasokan, soal gizi yang kacau di lapangan, adanya pungli itu terakumulasi."

"Jangan sampai pajak 1 presen sekalipun menjadi beban, karena kemudian terakumulasi dengan komplain in-efisiensi yang lain, yang sampai detik ini belum dituntaskan," terangnya.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi di acara jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (16/11/2018). (TRIBUNNEWS/RIA ANASTASIA)

"Jangan sampai itu jadi beban yang berat bagi masyarakat, yang kemudia memukul daya beli," tambah dia.

Kemudian, Tulus juga menyoroti wacana jasa kesehatan yang rencana juga kan dikenai pajak.

Kata Tulus, YLKI sempat menerima keluhan dari komunitas tenaga medis soal layanan kesehatan yang dikenai pajak.

Komunitas itu menyuarakan pajak pada alat kesehatan dihapuskan.

Baca juga: Rencana Pemerintah Mengenakan Tarif PPN Sembako Dinilai Sangat Tidak Pantas

"Jangan dikenai pajak barang mewah. Nanti kalau ada PPN lagi dan segala macamnya makin berat."

"Karena pajak-pajak itu pada akhirnya dibebankan pada pasien, pasien harus membayar lebih," ungkap Tulus.

Ia meminta pemerintah untuk membahas lebih lanjut soal objek-objek apa saja yang bisa dikenai pajak yang besar.

"Saya kira objek-objek besar pajak bisa dielaborasi lebih komprehensif," lanjutnya.

Selanjutnya, kata Tulus, rencana pelaksanaan PPN ini tak hanya memperhatikan soal efisiensi ekonomi, tapi juga dari sisi kesehatan dan lingkungan.

Diskusi Polemik bertajuk 'Publik Teriak Sembako Dipajak' secara virtual, Sabtu (12/6/2021). (ist)

Baca juga: Legislator PKS: Pengenaan PPN untuk Sembako dan Biaya Persalinan Makin Memberatkan Keluarga

Misalnya, PPN bisa dikenakan pada produk barang yang bisa menimbulkan penyakit akut.

"Selama ini kita melihat penyakit besar dipicu oleh produk tidak sehat yang dikonsumsi masyarakat."

"Jadikanlah pajak sebagai instrumen pengendali agar masyarakat lebih sehat, seperi cukai rokok, atau cukai makanan dengan gula yang tinggi, dengan lemak yang tinggi."

"Sehingga punya dimensi yang lebih luas. Jadi uangnya dapat tapi lebih bermanfaat," tandasnya.

Alasan Pemerintah ingin Pajaki Sembako dan Jasa Pendidikan

Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan memberikan penjelasan soal rencana pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi bahan pokok (sembako) dan jasa pendidikan. 

Menurut Ditjen Pajak, kebijakan bebas PPN terhadap sembako dan jasa pendidikan saat ini dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. 

Penjelasan itu disampaikan Ditjen Pajak melalui akun Instagram resmi Ditjen Pajak @ditjenpajakri, dikutip Tribunnews sebelumnya, Sabtu (12/6/2021).

Ditjen Pajak menyampaikan dengan tidak diberlakukannya PPN terhadap sembako saat ini membuat semua jenis sembako bebas dari PPN.

Tak terkecuali dengan beras premium yang dikonsumsi oleh kelas atas. 

"Konsumsi beras premium dan beras biasa, sama-sama tidak kena PPN. Konsumsi daging segar wagyu dan daging segar di pasar tradisional, sama-sama tidak kena PPN," tulis Ditjen Pajak.

Baca juga: Dahlan Iskan: Untung Dokumen PPN Sembako Ini Bocor . . .

Begitu juga dengan semua jenis jasa pendidikan, tanpa memperhatikan kelompok dan jenisnya juga bebas dari PPN.

"Les privat berbiaya tinggi dengan pendidikan gratis, sama-sama tidak kena PPN," tulisnya lagi.

Menurut Ditjen Pajak, pemberlakuan bebas PPN terhadap semua jenis sembako dan layanan pendidikan menunjukkan kebijakan yang tidak tepat sasaran.

"Orang yang mampu bayar justru tidak membayar pajak karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN," tulisnya.

Karena itu, lanjut Ditjen Pajak, pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (RUU KUP) yang di antaranya mengubah sistem perpajakan.

"Diharapkan sistem baru dapat memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distoris dan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan optimalisasi pendapatan negara," tulisnya.

Dalam draft RUU itu, sembako termasuk di antaranya beras dan gula konsumsi dihapus dari daftar barang yang dikecualkan dalam pemungutan PPN.

Baca berita seputar Pajak Sembako lainnya

(Tribunnews.com/Shella Latifa/Daryono)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini