TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Egy Massadiah, lahir di Sengkang-Sulawesi Selatan 27 Desember 1966.
Ia seorang multi-talent yang berangkat dari karier jurnalistik.
Kepiawaiannya merajut persahabatan, didedikasikan bagi kemaslahatan masyarakat.
Namanya bercokol di dunia media massa, panggung teater, sinematografi, dan berbagai aktivitas lain.
Termasuk kiprahnya mendampingi Letjen TNI Dr (HC) Doni Monardo sebagai Tenaga Ahli Kepala BNPB (2019 – 2021).
Sekilas Egy
Egy lahir dari orang tua suku Bugis, Sengkang Wajo. Jiwa petualang, semangat merantau yang mereka sebut sompe’, melandasi setiap gerak, langkah, dan tarikan nafasnya.
Semasa SD di SD 2 Teladan Sengkang ia aktif di ke pramukaan. Kelas 6 SD ia juara cerdas cermat yang ditayangkan di stasiun TVRI Makassar.
Ia merantau ke Jakarta tahun 83-an ketika usianya masih belia. Tentu Anda tidak pernah berpikir, seorang “anak ingusan” datang ke Ibu Kota dengan modal dengkul.
Ya, dia datang dengan modal DOT, dengkul, otot, tekad.
Bahwa kemudian Egy Massadiah dikenal sebagai aktor teater/film, sutradara, bahkan produser (teater dan film)….
Bahwa kemudian Egy Massadiah menduduki posisi di redaksi sebuah tabloid (Wanita Indonesia-pen)….
Bahwa kemudian Egy Massadiah juga dikenal sebagai penulis buku….
Bahwa kemudian Egy Massadiah dikenal sebagai tokoh muda Partai Golkar di era kepemimpinan Ketua Umum Jusuf Kalla…
Itu semua adalah sebuah keniscyaan hidup. Bisa juga Anda menyebutnya “garis tangan”.
Pernah dengar istilah, “Jakarta keraaasss….”? Egy belia langsung dihajar keras dan kejamnya Ibu Kota yang bahkan dijudul-filmkan, “Kejamnya Ibu Tiri tak Sekejam Ibu Kota”.
Usaha sekuat tenaga untuk survive. Apa pun ia kerjakan.
Jadilah Egy memiliki pengalaman sederet profesi rendahan yang pernah dijalaninya.
Menjadi sopir, kuli panggung, kenek tukang batu, pembantu rumah tangga, sampai pengamen jalanan.
Tekadnya menaklukkan Jakarta begitu bergelora. Pantang pulang sebelum jadi “orang”.
Karenanya, apa pun jenis pekerjaan disadarinya sebagai batu loncatan untuk menggapai mimpi yang telah ia gantungkan tinggi-tinggi di langit sana.
"Prinsipnya, jangan umbar kepedihan dan kepahitan hidupnya saat kamu sedang dan masih berjuang. Nanti saja setelah kamu melewati semua itu," ujarnya.
Biduk hidup mulai menuju jalur yang sesuai dengan suara hatinya, justru ketika ia menekuni dunia teater.
Sempat bergabung dengan beberapa grup teater seperti Adinda dan Belinda (Yose Marutha Effendi - Renny Dajoesman), akhirnya Egy tertambat di Teater Mandiri yang didedengkoti Putu Wijaya pada tahun 1983.
Egy menunjukkan totalitasnya di Teater Mandiri. Aneka pekerjaan produksi teater dan peran pernah ia lakoni.
Filosofi Teater Mandiri - "Bertolak dari yang ada", ia camkam sebagai pedoman dalam jiwa dan batinnya.
Sebagai “cantrik” yang baik, Egy senantiasa haus ilmu. Semua diskusi yang menyerempet lintas bidang, mulai dari budaya, sosial, sampai politik, dan nilai-nilai kehidupan ia ikuti di sanggar Teater Mandiri.
Putu Wijaya yang penulis produktif pun coba ditirunya. Egy belajar dan berlatih menulis. Menulis sastra, opini, hingga reportase jurnalistik.
Panggung Jurnalistik
Syahdan, Egy nyemplung di panggung non drama. Ia merintis karier sebagai penulis lepas di sejumlah suratkabar antara tahun 1987-1994.
Nasib penulis lepas, tak ubahnya nasib seorang pelukis. Ia berkarya, melempar ke pasar, dan berharap ada yang beli.
Begitu pula Egy. Ia memeras ide dan menuangkannya dengan larikan kalimat. Alinea-demi-alinea dialirkan menjadi sebuah narasi bernas.
Sebuah artikel, atau hasil reportase yang diharapkan mampu menaklukkan hati redaktur di media yang dituju.
Redaktur adalah algojo penentu nasib penulis lepas. Lolos dari mejanya, artinya lolos tayang di suratakabar keesokan harinya. Tidak lolos di meja redaktur, maka nasib tulisan Egy akan berakhir di keranjang sampah.
Egy merasakan bagaimana melewati hari dengan harap-harap cemas, ihwal kapan tulisannya dimuat. Bukan hanya rasa puas, tapi ada harapan “nafas”. Ya, nafas kehidupan.
Tiba akhirnya, ia diterima bekerja sebagai jurnalis lepas di Harian Pelita. Dinamika kerjanya semakin padat dan rutin.
Malang melintang sebagai jurnalis. Sebuah keniscayaan jika kemudian ia berpindah ke media lain, tepatnya ke tabloid Wanita Indonesia yang diprakarsai Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, dengan jabatan terakhir Redaktur Pelaksana.
Prestasi atas kreativitasnya juga telah ia buktikan dengan memenangi lomba penulisan esai Diplomasi Kebudayaan Indonesia-Amerika dalam rangka KIAS tahun 1987 dan menerima honorarium sebesar Rp 75 ribu. Angka yang lumayan pada masanya.
Karya Buku
Selain jurnalis, ia juga seorang penulis.
Buku pertama yang ditulisnya adalah Srikandi: Sejumlah Wanita Indonesia (tahun 90-an), disusul buku-buku berikutnya; Top Eksekutif Indonesia; Top Pengusaha Indonesia.
Tahun 2013, Egy Massadiah menulis buku Bung Karno Ata Ende bersama Roso Daras.
Buku ini merupakan bagian dari produksi film Ketika Bung di Ende pada 2013, di mana Egy bertindak selaku produser.
Dua tahun terakhir (2019 – 2021) Egy bahkan terbilang sangat produktif menulis.
Lahirlah dua buku yang merupakan satu tarikan kisah: Secangkir Kopi di Bawah Pohon dan Sepiring Sukun di Pinggir Kali. Kedua buku itu di bawah tagline “Kiprah Doni Monardo Menjaga Alam” (2019-2020).
Buku lain adalah “Mempolong-Merenten: Rehab Rekon Pasca Gempa Lombok” (2019), Volunesia, Kisah & Wajah Relawan Covid-19 (2020), “Titik Nol Corona: Doni Monardo di Pusaran Wabah” (2021).
“Ada sejumlah judul buku lain yang masih proses penulisan, dan insya Allah launching tahun 2021 ini,” ujar Egy, suatu hari.
Dunia Panggung & Seluloid
Di sela tugas-tugas jurnalistik, ia aktif sebagai pemain teater di kelompok Teater Mandiri. Dunia teater, dengan sendirinya, mendekatkan Egy ke dunia acting, baik di layar kaca maupun seluloid.
Tercatat ia tampil di sinetron berjudul Abad 21 (Indosiar), Kerinduan (Indosiar), Perlu Ada Sandiwara (Putu Wijaya - TPI). Juga sejumlah judul FTV yang tayang di SCTV dan RCTI. Semua itu di tahun 90 an.
Adapun sinetron TVRI "Rumah Masa Depan" karya Ali Sahab ia lakoni di tahun 85 an.
Sebagai produser panggung, ia juga pernah mementaskan teater “Mega Mega” Karya Arifin C. Noer di Gedung Kesenian Jakarta sebagai bagian dari Art Summit International Festival 2013 serta pentas di Singapura.
Bahkan membawa lakon BOM karya Putu Wijaya ke Slovakia dan Shanghai China pada 2012 bersama Institut Kesenian Jakarta.
Totalitasnya pada dunia teater, ia tunjukkan dengan membuat berbagai inovasi. Salah satu inovasi Egy adalah pemikiran Teater Striping. Istilah yang biasa dipakai untuk serial sinetron, digunakan Egy di dunia teater.
“Muaranya adalah bagaimana seni teater bisa berkontribusi bagi pembentukan karakter anak bangsa, sekaligus ikon bangsa,” ujar lelaki lulusan S2 bidang komunikasi Paramadina University ini.
Ambisi Egy juga menjadikan teater sebagai kantong yang mengolah generasi muda Indonesia untuk siap pakai dalam membangun NKRI.
Menurut Egy, kehidupan dan negara adalah sebuah panggung teater yang memerlukan pekerja-pekerja yang ulet, setia, dan terlatih. Tak hanya cerdas, tetapi juga bijak, gesit dan memiliki kepekaan tinggi pada kemanusiaan.
Teater yang mencakup hampir seluruh cabang kesenian dan juga berbagai aspek dari disiplin lain (psikologi, filsafat, sejarah, politik, hukum bahkan ekonomi, dan sebagainya) akan menjadi bengkel pelatihan bukan saja bagi mereka yang ingin menjadi pekerja teater, tetapi seluruh kemungkinan profesi dari kelas pekerja maupun pemimpin.
Karena itu, Egy tidak pernah berpaling dari pernyataan, bahwa dirinya yang sekarang adalah lahir dari tempaan dunia teater. Itu membuktikan, bahwa di dunia teater, juga berkembang disiplin pengetahuan yang lain.
Konsistensinya pada dunia teater, telah mengantarkan Egy bersama Teater Mandiri sukses menembus panggung-panggung bertaraf Internasional di New York Off Broadway, Seatlle, Connecticut, San Fransisco (tahun 1990), Singapura, Cairo, Tokyo, Cheko, Slovakia, Hongkong, Taiwan, dll.
Kembali ke dunia film, Egy juga memproduseri film LARI DARI BLORA yang dibintangi WS Rendra. Sebuah film yang berkisah tentang budaya suku Samin di Jawa Tengah pada tahun 2007.
Tahun 2013, kembali Egy menjadi produser film Ketika Bung di Ende, menampilkan pemeran utama Baim Wong (Bung Karno), Paramitha Rusady (Inggit Garnasih), dan sejumlah aktor kawakan lain seperti Tio Pakusadewo.
Lepas dari film Bung Karno, beralih ke tokoh pahlawan nasional Pangeran Antasari dari Banjarmasin. Tahun 2017, Egy mendapat kepercayaan menjadi produser film Pangeran Antasari “Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing”.
Film Pangeran Antasari, digarap dengan lebih 70 persen menggunakan bahasa Banjar, bahasa daerah setempat. Penggunaan bahasa daerah, menjadi penting karena menurut Egy, makin terpinggirkan, bahkan terancam punah.
“Penyebabnya bisa banyak hal. Misalnya, keluarga yang bapak-ibunya berasal dari dua daerah yang berbeda, cenderung memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Itu artinya, dua bahasa daerah hilang di satu keluarga,” paparnya.
Dunia Sosial Kemasyarakatan
Yang menarik, di luar dunia jurnalistik dan seni, ia aktif membantu Wakil Presiden RI Jusuf Kalla atau JK sejak 2007.
Sebagai kader Partai Golkar dimana JK sebagai ketua umum, ia antara lain menangani pertemuan organisasi perdamaian Centris Asia Pacific Democratic International (CAPDI) di mana JK adalah ketuanya. Juga menjadi relawan Palang Merah Indonesia.
Tahun 2014, ia bahkan pernah dicalonkan menjadi Caleg oleh Partai Golkar untuk Dapil DKI (Jakarta Pusat, Selatan dan Luar Negeri).
Sayang, ia gagal menembus Senayan. “Semua ada hikmahnya. Mungkin memang lebih baik jika saya berkiprah di luar politik,” ujar Egy suatu hari.
Sisi lain yang menarik dari seorang Egy adalah, jalinan persahabatan lintas bidang, dari sipil sampai militer.
Nah, khusus di dunia militer Egy berkawan dengan banyak prajurit yang tidak sedikit di antaranya melejit menjadi jenderal.
Satu di antaranya adalah Letjen TNI (Purn) Doni Monardo. Pertemanan mereka telah terajut sejak Doni berpangkat perwira pertama (pama).
Persahabatan itu ia jalin secara intens. Meski masing-masing berada di medan tugas yang berbeda.
Alhasil, teman-teman dekatnya tidak terlalu heran ketika awal tahun 2019 Egy berkantor di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan jabatan Tenaga Ahli Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo.
Selama kurang lebih 2,4 Doni memimpin BNPB dengan segala aktivitas padatnya, selama itu pula Egy selalu mendampinginya.
Hingga tulisan ini disusun, Egy sendiri belum sempat menghitung berapa ribu kilometer jarak telah ia arungi bersama Doni, baik melalui penerbangan udara ataupun jalan darat.
Jika bukan untuk urusan penanggulangan bencana, pastilah untuk tujuan mitigasi bencana. Belakangan bahkan ditambah dengan aktivitas pengendalian pandemi Covid-19.
Dari sekian banyak perjalanan, tentu ada banyak catatan. Ketika diminta menyebutkan “satu saja” catatan perjalanan yang paling berkesan, spontan Egy menyebut, “Tahuna! Kecelakaan helikopter di Tahuna, Sulut!”
Yang ia maksud adalah peristiwa saat bersama Doni Monardo meninjau musibah banjir-longsor di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Hari itu, Senin 6 Januari 2020, usai kunjungan ke daerah bernama Tahuna, Doni dan rombongan sedia bertolak.
Apa lacur, helikopter yang ditumpangi berputar-putar, oleng, dan gagal terbang. Baling-balingnya bahkan sempat menyambar satu unit mobil Avanza hingga terpental.
“Syukur alhamdulillah, kami selamat,” ujar Egy.
Terakhir, Egy mengetuai sebuah lembaga yang bergerak di bidang lingkungan hidup: Yayasan Kita Jaga Alam (KJA).
Dalam jangka pendek, Yayasan KJA akan bergerak di bidang pembibitan pohon. Jangka panjang, Yayasan yang ia dirikan bersama Doni Monardo itu, akan fokus pada mitigasi berbasis vegetasi.