News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pajak Sembako

Isu Pajak Sembako di Tengah Pandemi, Pemerintah Diminta Fokus Tangani Covid-19

Penulis: Shella Latifa A
Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI Sejumlah pedagang sembako di Pasar Peterongan Kota Semarang sedang melakukan transaksi jual, Jumat (11/6/21). Wacana pajak sembako di tengah masa pandemi, Ekonom senior Kwik Kian Gie minta pemerintah fokus tangani Covid-19 dahulu.

Dimana, kalangan masyarakat ke atas bisa dikenai tarif pajak lebih besar.

"Kita ingin menata supaya sistem perpajakan lebih berkeadilan. Yang mampu, membayar lebih besar. Yang tidak mampu, ditolong," jucap Yustinus.

Lebih lanjut, Yustinus mengatakan wacana pajak sembako dalam RUU KUP itu memakai sistem pajak multitarif.

"Dengan skema tarif itu justru kita bisa membedakan, yang membeli barang mewah dia bisa dikenai tarif tinggi, barang kebutuhan pokok kena tarif rendah, bahkan tidak dipungut."

"Dan ada yang kita siapkan nanti dengan UU ini, seperti susu formula, popok bayi, atau bahkan pembalut wanita yang kena 10 persen dengan skema ini bisa dikenai 5 persen," jelas Yustinus.

Menkeu Tegaskan PPN Sembako Hanya untuk Jenis Premium, Bukan yang Dijual di Pasar Tradisional

Diberitakan Tribunnews sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani memberikan klarifikasinya terkait isu penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi sembako.

Klarifikasi tersebut disampaikan Sri Mulyani melalui Instagran pribadinya @smindrawati, Senin (14/6/2021).

Sri Mulyani menegaskan pajak sembako yang akan diterapkan bukan untuk sembako yang dijual di pasar tradisional dan menjadi kebutuhan masyarakat umum.

"Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang di jual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum," tulis Sri Mulyani dalam unggahannya.

Baca juga: Menkeu Diminta Cari Pajak di Produk Lain Selain Sembako, Masih Banyak Belum Dipajaki

Menurutnya pemungutan pajak juga tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, tapi disusun kembali untuk melaksanakan azas keadilan.

"Pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan azas keadilan. Misalnya beras produksi petani kita seperti Cianjur, Rojolele, Pandan Wangi, dll yang merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional tidak dipungut pajak (PPN)."

"Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak."

"Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa, seharusnya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak," sambungnya.

Baca juga: Sri Mulyani Ungkap Perusahaan Digital Kabur ke Irlandia Utara Demi Ngemplang Pajak

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini