Hasanah Samhudi/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendidikan vokasi sangat berpotensi untuk memajukan perekonomian masyarakat desa, khususnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Pendidikan vokasi yang disesuaikan dengan kondisi riil desa akan memberikan sumber daya manusia berkualitas yang dihadapi BUMDes saat ini.
Mantan Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo mengatakan potensi BUMDes sangat besar.
“Sayangnya tidak semua desa mempunyai orang yang mempunyai kualifikasi mengelola bidang usaha sehingga tidak semua BUMDes berhasil,” ujar Eko, dalam webinar Seri Diskusi Riset Keilmuan Terapan Pendidikan Tinggi Vokasi dengan tema “Solusi Riset Terapan Vokasi untuk Pembangunan Ekonomi Desa yang diadakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Jumat (16/7).
Webinar juga dihadiri oleh Wakil Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi, Dekan Sekolah Vokasi IPB University Arief Daryanto, Tim Program Riset Keilmuan Terapan Kemendikbud Ristek Otto Purnawarman, dan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Rika Fatimah.
Baca juga: Pembentukan Pendidikan Vokasi Harus Disesuaikan dengan Potensi Ekonomi di Desa-desa
Namun Eko melihat beberapa contoh BUMDes yang semula kurang berhasil, ternyata bisa menghasilkan miliaran rupiah dengan penanganan dan pengelolaan yang cocok kondisi desa.
“Ini menunjukkan bagaimana kapasitas sumber daya manusia bisa mengubah masalah (ancaman) menjadi opportunity,” ujar Eko.
Menurutnya, semua tergantung kemampuan sumber daya manusia yang ada di desa dan pendampingan.
Pendampingan terbaik adalah dengan sektor usaha yang benar-benar mengetahui bidangnya.
“Tentu bidang usaha yang cocok yang mempunyai common interest,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa pendampingan saja tidak cukup. “Tanpa kualitas sumber daya manusia, yang ada juga akan tertatih-tatih,” katanya.
Baca juga: Wamendes: Keterampilan Pendidikan Vokasi Jadi Penting dalam Pembangunan Desa
Sejalan dengan itu, Wakil Mendes PDTT Budi Arie Setiadi melihat potensi dan kemajuan BUMDes sangat tergantung kondisi anak muda di desa.
“Kemajuan desa dan BUMDesnya tergantung pada kondisi anak mudanya, sumber daya, dan partisipasi masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, warga desa bukan sekadar penonton pembangunan. “Banyak anak muda membuat potensi maju jauh lebih besar. Jadi beri kesempatan oleh pemerintah desa. Kalau bisa pengelola BUMDes diberikan kepada anak muda,” ujar Budi.
Link and Match
Budi dan Eko melihat Pendidikan vokasi sangat berkontribusi menyelesaikan masalah ekonomi desa.
“Karenanya ketrampilan dan Pendidikan vokasi ini penting, karena pembangunan desa , masalah BUMDes adalah mengenai kelangkaan dan kesenjangan sumber daya yang mumpuni,” ujar Budi.
Eko menambahkan, pendidikan vokasi harus sesuai dengan potensi dari desa masing-masing. “Sehingga anak-anak di desa tidak perlu mencari kerja ke daerah lain setelah mendapatkan pendidikan vokasi. Mereka bisa bekerja di daerah dan membangun daerahnya,” ujarnya.
Melihat permasalahan ini, Direktorat Diksi Kemendikbud Ristek membuat program yang mendekatkan pendidikan vokasi dengan dunia kerja melalui Skema 8+I, terutama riset terapan.
Otto Purnawarman dari Tim Riset Keilmuan Terapan Kemendikbud Ristek mengatakan program riset terapan berbasis demand driven sehingga berkontribusi dalam menyelesaikan masalah nyata, baik di dunia usaha, industry, dan masyarakat sipil. Masalah yang sehari-hari di masyarakat dan industry bisa terselesaikan,” katanya.
“Solusi yang diselesaikan riset terapan harus meningkatkan produktivitas, akurasi, efisiensi, efektivitas, dan berkontribusi menyelesaikan masalah ekonomi dan sosiak,” kata Otto.
Selain riset terapan, juga bagaimana kurikulum disusun bersama berbasis kebutuhan industry, pembelajaran berbasis project riil yang dihadapi masyarakat baik dunia usaha dan dunia kerja.
Selain itu juga mewajibkan mahasiswa magang atau melakukan praktik kerja di dunia kerja (industry), bagaimana sertifikasi kompetensi, para dosen/guru/instruktur yang mumpuni, serta komitmen serapan lulusan oleh dunia kerja.
Keunikan BUMDes
Program riset terapan ini disambut semua pihak, karena sangat memungkinkan meningkatkan perekonomian masyarakat desa, terutama BUMDes.
Dekan Sekolah Vokasi IPB University, Arief Daryanto, melihat banyak peluang bagi riset terapan vokasi untuk menggunakan potensi BUMDes yang besar di pedesaan dan sekaligus menyelesaikan tantangannya.
“Jadi pembelajaran harus demand driven dan kurikulum kualitas vokasi harus berbasis outcome base education di mana outcomenya harus dirumuskan sejak awal,” ujar Arief.
Selain itu perlunya assurance of learning dikembangkan di Pendidikan vokasi. “Sehingga jika nanti para lulusan belum capai learning outcome kita harus kontemplasi apa yang yang dilakukan untuk mengembangkan learning outcome yang benar-benar dibutuhkan oleh industri baik learning outcome bersifat hardskill maupun softskill,” katanya.
Intinya, katanya, adalah bagaimana ke depan Pendidikan vokasi bisa menyehatkan BUMDes, baik dari sisi organisasi, finansial, akses market, dan network.
“BUMDes yang kuat harus sehat operasinya, sehat pasarnya, sehat organisasinya, dan sehat jejaringnya,” ujarnya.
Namun Arief mengingatkan bahwa Pendidikan vokasi sangat berbeda, sehingga tergantung pada masing-masing Lembaga untuk mengembangkannya disesuaikan kebutuhan masyarakat desa.
Hal senada diungkapkan Rika Fatimah, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada. Ia melihat perspektif ekonomi dan besaran BUMDes sangatlah berbeda dengan usaha lain, seperti UMKM. “Ia bukanlah UMKM, BUMDes memiliki karakteristik luar biasa, inilah ekonominya Indonesia,” katanya.
Menurutnya, Indonesia harus berani menunjukkan kebaruannya, benar-benar berpijak di kaki sendiri karena apa yang dilakukan di negara lain belum tentu cocok dengan di Indonesia. “Model bisnis BUMDes harus berbeda dengan kebanyakan UMKM,” ujarnya.
Ia mengatakan, produk unggulan BUMDes harus terbatas, supaya tercipta ikon-ikon khas Indonesia, suatu kebaruan dan harus berkelanjutan. “Kalau BUMDes ikut-ikutan melakukan semua, akhirnya nothing,” ujarnya.
Karena itu, ia melihat riset yang sangat dekat dengan vokasi, tentu akan menghasilkan program yang tepat. Namun riset terapan perlu memperhatikan keunikan masing-masing BUMDes. “BUMDes mewadahi dan membuat bagaimana ekosistem di desa subur untuk UMKM berkembang dan bukannya head to head dengan UMKM,” katanya.
Eko menegaskan bahwa pendidikan dan riset terapan vokasi yang akan membantu masyarakat desa harus menyesuaikan karakter desa, yang 60 persen masyarakatnya lulusan SD dan SMP dan dilakukan secara bertahap.
Ia melihat banyaknya desa di Indonesia, maka perlu mengubah system role model menjadi Gerakan secara bersamaan desa. “Libatkan dunia usaha untuk proses pendampingan cepat. “Create satu model berbasis common interest antara masyarakat desa, dalam hal ini BUMDes dan dunia usaha,” katanya.
Senada, Wamendes Budi menekankan, setiap desa mempunyai karakteristik sehingga membangunnya tidak bisa dengan single model. “Ada perbedaan luasan kewilayahan dan jumlah orangnya,” katanya.
Ia mengatakan, BUMDes baru 5-6 tahun jadi model ekonomi desa, yang championnya masih terbatas. Belum sampai 100 jadi role model karena sebagian besar kembali pada masalah SDM. “Karena itu, Pendidikan vokasi berbasis kekuatan lokal sangat penting,” katanya.
Menurut Budi, idealnya BUMDes harus menjadi pusat perdagangan dan distribusi desa. Namun masalahnya ada di level persiapan dan komitmen pemangku kepentingan di desa. Misalnya perdebatan apakah BUMDes akan berorientasi keuntungan (profit) atau memberi manfaat (benefit).
Ia menilai, perlu ditekankan paradigma bahwa menanamkan uang di BUMDes bukan uang hilang, melainkan menjadi investasi.
“Kesadaran ini harus ditumbuhkan. Setiap rupiah dari dana desa bukan uang hilang tapi investasi, sehingga dalam jangka menengah dan Panjang menjadi keuntungan masyarakat des aitu sendiri,” katanya, seraya menambahkan, apalagi BUMDes sudah jelas badan hukumnya. (Tribunnews.com/Hasanah Samhudi)