Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika mempertanyakan pengawasan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) soal peminjaman online (Pinjol) bisa registrasi ribuan SIM Card hanya dengan 1 NIK KTP.
Menurutnya, hal ini menjadi salah satu alasan menjamurnya pinjol ilegal yang tak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pihaknya juga akan segera berkoordinasi dengan kementerian terkait.
"Dari pengungkapan ini, setidaknya ada beberapa stakeholder yang perlu ada kita tingkatkan kerja samanya, pertama adalah dengan kementerian kominfo. Karena fakta dari ribuan SIM card tersebut itu sudah teregistrasi, sudah teregistrasi," kata Helmy dalam jumpa pers virtual di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (29/7/2021).
Baca juga: Polri Ungkap Pelaku Pinjol Ilegal Fitnah Korban Bandar Narkoba Hingga Sebar Foto Tak Senonoh
Helmy menyebutkan akan mengklarifikasi ihwal alasan ribuan SIM card bisa teregistrasi pada satu NIK KTP.
Padahal aturannya, satu NIK KTP hanya bisa teregistrasi di dua nomor SIM Card.
"Artinya kita ingin mengetahui, mengapa sudah bisa teregistrasi, karena yang umum diketahui bersama, registrasi satu kartu perdana itu mengunakan NIK dan maksimal kalau tidak salah dua kartu. Kalau ribuan seperti ini perlu didalami dari kominfo dan dukcapil," jelasnya.
Di sisi lain, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk menelusuri alur keuangan dari pinjaman online ilegal tersebut.
"Dari alur keuangannya juga akan kita lakukan pendalaman, karena ternyata pembayaran cicilan dan sebagainya itu menggunakan virtual account. Sehingga di sini kita juga koordinasi dengan APIP untuk bisa sama-sama ke depan kalau ada peristiwa seperti ini bisa saling mengisi dan melengkapi, dan sebagainya," ungkapnya.
Selanjutnya, pihaknya juga bakal berkoordinasi dengan Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mencari solusi untuk dapat menutup timbulnya pinjol ilegal baru.
"Kita akan terus mengusut jaringan-jaringan ini, namun perlu kami sampaikan bahwa ada sedikit hambatan karena ini sifatnya menggunakan teknologi, sudah di take down oleh Satgas Waspada Investasi OJK, itu dalam waktu singkat dia bisa membuat lagi yang baru," tukasnya.
Sebelumnya, Bareskrim Polri menangkap 8 tersangka pelaku pinjaman online (pinjol) ilegal bermodus koperasi simpan pinjam (KSP) di Medan, Sumatera Utara.
Pinjol ini juga dikendalikan dua Warga Negara Asing (WNA) yang kini masih buron.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika menyampaikan modus operasi pinjol ilegal ini memakai SMS blasting untuk menawarkan jasa peminjaman uang kepada korbannya.
Ia menuturkan SMS blasting inilah yang menjadi titik penyidik melakukan pengungkapan kasus ini. Dari SMS itu, pelaku terdeteksi berada di Medan, Sumatera Utara.
"Kemudian tim berangkat ke Medan, melakukan profiling, penyelidikan dan kita melakukan penangkapan di Medan. Dari situ berkembang bahwa ternyata para pelaku itu selain PT SCA juga terafiliasi dengan beberapa KSP. Koperasi simpan pinjam," kata Helmy dalam jumpa pers virtual di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (29/7/2021).
Ia menuturkan jaringan ini biasanya memakai nama koperasi simpan pinjam hidup hijau, cinta damai, pulau bahagia, dana darurat, dana cepat cair, pinjaman kejutan super dan nama-nama lainnya. Mereka semua terafiliasi dengan jaringan ini.
Dalam kasus ini, pihaknya menangkap total 8 orang sebagai tersangka yang memiliki peran berbeda-beda.
Adapun dua orang di antaranya merupakan bagian debt collector alias penagihan utang.
"Jadi kita telah lakukan penangkapan total keseluruhan adalah 8 tersangka dengan berikut barang bukti tadi ada ribuan SIM card, modem pool untuk mengirim SMS blasting, kemudian ini ada beberapa HP dan laptop yang fungsinya untuk melihat alur transaksi, transaksi komunikasi dari para pelaku itu," ungkapnya.
Selain, itu, pihaknya juga masih memburu dua WNA yang juga turut terlibat dalam pinjaman online tersebut.
"Ada beberapa tersangka yang masih dilalukan pengejaran WNA, ini sudah kita lakukan pencekalan dan mengirimkan DPO kepada kedua orang ini," tukasnya.
Atas perbuatannya itu, para tersangka dijerat Pasal 45 ayat 3 tentang UU ITE, Pasal 8 dan Pasal 62 UU 8/1999 tentang perlindungan konsumen serta UU Cipta Kerja dan Pasal 311 KUHP.
Ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.