"Kenapa ini terjadi? karena juga petugas pemasyarakatan yang menjaga kalau 4.000 orang itu yang hadir paling 30 orang dengan keberadaan petugas lapas 30 sekali piket, maka tidak terjangkau untuk mengamankan seluruh 4.000 ini," sambungnya.
Atas dasar itu, kata Reynhard, kapasitas lapas memang harus segera dikendalikan oleh berbagai pihak.
"Pelaku tindak pidana narkotika bukan kalau dia sudah masuk sudah inkrah, maka dia langsung berhenti taubat. Tapi 3.500 ini dengan berbagai macam cara beberapa orang, beberapa puluh orang akan berusaha tetap melakukan perbuatan pelanggaran narkotika. Baik dia sendiri melakukannya menghisap dan sebagainya atau juga ikut dalam pengendalian narkotika," tukasnya.
Sebagai informasi, kapasitas maksimal lapas di Indonesia hanya sebanyak 132.000.
Namun jumlahnya kini telah jebol mencapai 298.394 yang mendekam di dalam lapas.
Dari jumlah tersebut, 50,9 persen di antaranya merupakan terpidana kasus narkotika dengan berbagai vonis yang beragam.
Paling banyak, narapidana dengan hukuman 5 sampai 9 tahun penjara.
Adapun trend penambahan narapidana juga setiap tahun semakin tidak terkendali. Tercatat pada 2016 jumlah penghuni lapas sebanyak 204 ribu, 2017 232 ribu, 2018 255 ribu, 2019 265 ribu dan 2021 telah mencapai 298 ribu orang.