Sejumlah rektor yang hadir dalam dialog ini mengakui terjadi keterbelahan di masyarakat akibat penggalangan opini, terutama di group-group wa dan media sosial.
Apalagi, segelintir orang menggunakan argumentasi agama oleh pemimpin keagamaan, yang sejak awal tidak pro pada protokol kesehatan dalam penanggulangan Covid-19.
“Seringkali kita selaku pimpinan perguruan tinggi keagamaan itu merasa gamang untuk mengambil peran yang lebih tegas di tengah-tengah masyarakat karena keterbelahan masyarakat akibat dari penggalangan opini,” ujar Masdar Hilmy, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Baca juga: Satlinlamil 2 Surabaya Suntik 350 Warga Vaksin Covid-19 Dosis Kedua
“Karena itu, saya mengusulkan agar dilakukan dua peran, yaitu peran dalam tingkat gagasan yang dilakukan secara tertulis maupun ceramah keagamaan, lalu kedua adalah peran aksi, yaitu dengan memanfaatkan aset negara yang ada di perguruan tinggi” lanjut Masdar.
Pandangan senada disampaikan Rektor STFT Widyasasana, Malang, Armada Riyanto.
Ia menyarakan agar pemerintah tidak terlalu menanggapi kritik yang justru akan mengahabiskan energi, dan berharap pemerintah fokus untuk penanggulangan covid-19.
“Pemerintah menurut saya fokus saja, fokus terus dalam penanggulangan covid dengan pengadaan alat kesehatan, obat, dan sebagainya. Tidak perlu menanggapi para antagonis dalam bidang politik maupun kebijakan publik,” ujar Riyanto.
Dialog virtual yang diselenggarakan Kedeputian Bidang Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam ini dihadiri sedikitnya 900 pimpinan perguruan tinggi keagamaan di seluruh Indonesia.
Selain diikuti sekitar 900 pimpinan perguruan tinggi keagamaan di seluruh Indonesia, dialog virtual ini juga dihadiri oleh para eselon satu di Kemenko Polhukam dan Kementerian Agama, yaitu para dirjen, deputi, staf ahli, dan staf khusus menteri. Sehari sebelumnya, dialog yang sama juga digelar secara daring dan dihari 820 perguruan tinggi umum negeri dan swasta se-Indonesia.