Sebab menurut Hatta, kehidupan di Belanda sangat demokratis. Namun Belanda sendiri tidak mau menerapkan nilai-nilai ini di daerah jajahannya.
“Jadi, kritik-kritik keras Bung Hatta, justru ia sampaikan saat berada di pusatnya penjajahan,” lanjut Burhanuddin.
Yang menarik dari Bung Hatta, meskipun ia seorang aktivis yang kutu buku dan seringkali mengkritik demokrasi ala barat, namun Hatta sendiri tidak anti terhadap demokrasi Barat.
Ini berbeda dengan Syahrir misalnya yang cendrung ‘taklid buta’ terhadap demokrasi Barat, atau Bung Karno yang cenderung anti terhadap demokrasi Barat.
”Bung Hatta menerima konsep demokrasi barat tapi dengan sangat kritis. Beliau menulis banyak sekali kritik-kritik tajam terhadap demokrasi barat terutama yang disebutnya sebagai demokrasi kapitalistik,” kata doktor politik dari Australian National University itu.
Menurutnya, Hatta melihat bahwa demokrasi di Barat tidak bisa dilepaskan dari konsep liberalisme individualisme. Individualisme yang diartikan bahwa setiap orang memiliki kehendak untuk melakukan apapun yang dia lakukan dan dijamin oleh apapun.
Kritik Hatta terhadap hal tersebut adalah ketika kehendak atau individualisme ini terlalu ditekankan secara membabi buta, maka yang lahir adalah hanya demokrasi politik, namun demokrasi ekonomi dikuasai oleh pemodal.
Kritik-kritik tajam Hatta terutama pada asumsi yang dipegang oleh individualisme bahwa seakan negara hanya menjadi penjaga malam dan tidak mengurusi bagaimana proses keadilan sosial.
“Inilah mengapa konsep keadilan sosial itu menempati satu tempat yang sangat baik sekali dalam pemikiran demokrasi seorang Hatta,” tutur Burhanuddin.
Hatta mengkritik demokrasi Barat yang dianggap lalai terhadap tujuan awal berdirinya demokrasi yaitu liberte (kebebasan dan kemerdekaan), egality (persamaan) dan fraternite(persaudaraan).
“Jadi, menurut Hatta, demokrasi Barat telah tercerabut dari akarnya sendiri’,” ungkap Burhanuddin.
Dari sinilah kemudian Hatta memberikan narasi demokrasi dengan apa yang dia ambil dari nilai-nilai berdasarkan Islam.
“Tentu bukan Islam yang eksklusif, tapi Islam yang menitikberatkan pada pada kebenaran dan keadilan sosial,” lanjut Burhanuddin.
Hal kedua yang menjadi latar belakang pemikiran demokrasi seorang Bung Hatta, selain ditunjang oleh konsep Islam yang berkeadilan, yakni adanya nilai-nilai asli demokrasi Indonesia yang disebut kekeluargaan dan kebersamaan.