TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai kebijakan pimpinan dan ketua KPK Firli Bahuri penuh kontroversial dan kontradiktif, serta cenderung tak mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Pernyataan ini merespons Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang mengatakan pengumuman tersangka dilakukan berbarengan upaya penahanan.
Alasan Alex yaitu semata-mata demi melindungi hak asasi manusia (HAM) tersangka korupsi.
"Menurut saya kebijakan pimpinan KPK sekarang ini semua penuh dengan kontroversial, kontradiktif dan cenderung justru tidak mendukung pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu," kata Abraham kepada Tribunnews.com, Kamis (26/8/2021).
Padahal, dikatakan Abraham, sebenarnya justru KPK yang melanggar HAM, yaitu dalam proses pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai lembaga antirasuah.
Baca juga: Raja OTT Tepis Pernyataan Komisioner KPK soal OTT Tergantung Kecerobohan Koruptor Pakai Ponsel
Terlebih, setelah dinonaktifkannya sejumlah pegawai akibat TWK.
KPK disebut Abraham tidak bernyali lagi dalam pemberantasan korupsi, operasi tangkap tangan (OTT) sepi dan nihil prestasi.
"Padahal sebenarnya justru KPK yang melanggar HAM dalam proses TWK, yang memberhentikan 75 pegawai KPK yang punya integritas kuat menurut Komnas HAM," katanya.
"Jadi prestasi KPK sekarang ini sama sekali nol besar alias nihil, hanya ada kontroversialnya. Sebaiknya pimpinan KPK sekarang mundur daripada menghambat pemberantasan korupsi," imbuh Abraham.
Sementara itu, eks Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memandang kebijakan baru pimpinan KPK saat ini berbanding terbalik dengan apa yang diterima pegawai tak lolos TWK.
Katanya, melindungi HAM tersangka korupsi tapi malah melanggar hak asasi pegawai.
"Jangan Anda bicara HAM tersangka korupsi tapi Anda mengabaikan HAM 75 orang pegawai Anda yang sudah jelas-jelas perform dalam berdedikasi. Malah dengan gampangnya Anda mengatakan hasil TWK berwarna 'merah' dan tidak bisa dibina lagi," ujar Saut kepada Tribunnews.com, Kamis (26/8/2021).
Pasalnya, kata Saut, selama dirinya memimpin KPK dari 2015 hingga 2019, ia tidak pernah bermasalah dengan sejumlah pegawai yang tak lulus TWK tersebut.
"Tolong jelaskan HAM macam apa dan HAM dari mana Anda ambil untuk jadi pegangan melaksanakan manajemen SDM/operasi secara utuh di KPK? Ironi sekali dan sangat paradoks cara berpikir dan bertindak KPK hanya karena undang-undangnya diganti," kata dia.
Saut pun menyarankan ada baiknya KPK melaksanakan rekomendasi Komnas HAM alih-alih mengurusi hak asasi tersangka korupsi.
"Sudah prioritaskan dan laksanakan saja 11 temuan rekomendasi Komnas HAM tentang pelaksanaan TWK itu kalau KPK mau bicara dan laksanakan HAM secara jujur, benar dan adil. Bukan sepotong-sepotong. Baca juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," ujar Saut.
Dalam konferensi pers terkait kinerja penindakan selama semester satu 2021, KPK menyatakan banyak kasus yang merupakan carry over dari tahun sebelumnya.
Tercatat, ada 126 kasus yang hingga saat ini masih dilakukan pengusutan oleh KPK.
Dari banyaknya kasus tersebut, sejumlah tersangka urung ditahan hingga statusnya yang juga belum diumumkan oleh KPK ke publik.
Langkah inilah yang diklaim KPK untuk menghormati HAM para tersangka.
"Memang ada kebijakan pimpinan terkait pengumuman tersangka itu, ini kita lakukan pengumuman tersangka itu berbarengan dengan penahanan ya. Kita enggak mau lagi seperti yang sebelumnya, sudah kita umumkan kemudian lama sekali baru kita tahan," ucap Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (24/8/2021).
"Karena apa? Ini masalah hak asasi seseorang, masalah juga kalau kita langsung melakukan penahanan ini kan berkaitan dengan argo (rentang waktu penahanan yang dibatasi undang-undang), istilahnya argo penahanan," imbuhnya.
KPK zaman Firli Bahuri dkk memang mempunyai kebijakan baru terkait pengumuman status tersangka korupsi.
Sebelumnya, pengumuman dilakukan dalam jarak tak terlalu jauh dari penetapan tersangka yang ditandai penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik).
Kini pengumuman dilakukan bersamaan dengan penahanan atau penangkapan tersangka.
Alex menjelaskan, rentang waktu penahanan hingga akhirnya dilimpahkan ke pengadilan adalah 120 hari.
Sehingga KPK tak mau terburu-buru menetapkan tersangka dan melakukan penahanan agar tidak terpaku dengan batasan waktu tersebut.
"Nah kendalanya di mana? Penyidik banyak sekali perkara ditangani begitu pula juga dengan JPU, masih banyak perkara-perkara yang saat ini masih berjalan. Jangan sampai hitungannya itu proses penyidikan masih lama karena penyidik juga masih memegang perkara-perkara yang lain," ujar dia.
"Sementara kita sudah tahan, sehingga waktu 120 hari itu enggak ngejar otomatis itu nanti keluar demi hukum, kan percuma juga. Jadi kita pastikan ketika kita memutuskan untuk melakukan penahanan, paling lama 120 hari itu sudah harus limpah," tambahnya.
Selain itu, hal tersebut juga memberikan kepastian hukum bagi pihak yang akan ditetapkan sebagai tersangka.
KPK juga, ucap Alex, menghindari adanya tersangka yang terlebih dahulu diadili masyarakat dengan hukuman sosial sebelum maju ke meja persidangan.
"Sebetulnya itu yang kini kita jaga, jangan sampai kita sudah umumkan, sudah diberitakan di mana-mana, kemudian juga istilahnya sudah diadili oleh masyarakat bahwa dia adalah koruptor. Tapi proses penanganan perkaranya masih lama," ucap dia.
"Nah ini yang di kepemimpinan periode ini kita ubah, yaudah kalau seperti itu memang saat kita terbitkan sprindik, itu tidak langsung kita umumkan. Kita nanti akan kita umumkan berbarengan dengan penahanan tersangka," sambung Alex.
Perlakuan hati-hati dan menjaga HAM tersangka korupsi oleh KPK berbanding terbalik dengan nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus TWK. Komnas HAM menyatakan ada 11 pelanggaran hak asasi dalam proses tersebut.
Mulai dari hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak atas pekerjaan, hingga hak atas untuk tidak didiskriminasi.
Hal ini bagian dari hasil penyelidikan soal TWK yang dipaparkan pada 16 Agustus 2021. Temuan disampaikan dalam konferensi pers yang dihadiri semua komisioner.
Dalam paparannya, Komnas HAM mengungkap sejumlah pelanggaran dalam TWK, salah satunya bahwa pegawai KPK yang tak lulus TWK sejak awal sudah ditarget, yakni dengan pelabelan sebagai Taliban.
Komnas HAM menyatakan TWK menjadi alat validasi untuk menyingkirkan para pegawai itu.
Padahal, isu Taliban tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Bahkan, pegawai KPK yang dilabeli Taliban ialah mereka yang bekerja secara profesional.
Rekomendasi Komnas HAM agar pegawai KPK yang tidak lulus TWK tetap dilantik menjadi aparatur sipil negara (ASN). Komnas HAM meminta Presiden Jokowi mengambil alih semua proses peralihan tersebut.