Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) merampungkan polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim lewat keterangan tertulis memerinci tiga desakan tersebut kepada Presiden Jokowi.
Pertama, Presiden Jokowi didesak berpegang teguh pada komitmen awal dan membuktikannya dengan sikap konkret menengahi polemik TWK pegawai KPK.
Kedua, Presiden Jokowi didesak mengikuti rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berupa tindakan korektif untuk mengangkat seluruh pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK.
Ketiga, Presiden Jokowi didesak memerintahkan KPK untuk mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman.
"Kami tak ingin, sikap plin-plan membuat publik kian tak percaya dengan janji pejabat negara. Revisi Undang-Undang KPK tentu bukan keputusan yang akan dilupakan, maka jika tetap pula membiarkan pegawai KPK berintegritas disingkirkan, lengkap sudah rekam jejak kepemimpinan yang membuat pemberantasan korupsi di Indonesia runtuh," kata Sasmito, Senin (6/9/2021).
Baca juga: Komnas HAM Berharap Bisa Menjelaskan Secara Langsung kepada Jokowi Terkait Hasil Temuan TWK KPK
Tiga desakan muncul pascaperwakilan 57 pegawai KPK tak lulus TWK berkunjung ke kantor AJI Indonesia di Jakarta pada Jumat (3/9/2021).
Dalam pertemuan tersebut, Sasmito menerangkan, perwakilan KPK dan pengurus AJI Indonesia mendiskusikan temuan Ombudsman dan Komnas HAM yang menyebut ada pelbagai pelanggaran dan siasat penyingkiran pegawai KPK melalui pelaksanaan TWK.
Kata Sasmito, Ombudsman menemukan ada cacat administrasi berlapis, penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan dalam proses pembentukan kebijakan, pelaksanaan TWK, serta penetapan hasil.
Temuan dan pendapat Ombudman mengikat secara hukum, karena temuan Ombudsman adalah produk hukum yang harus dipatuhi oleh lembaga pelayanan publik terlapor, yaitu KPK.
Sementara, lanjut Sasmito, Komnas HAM mendapati proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui asesmen TWK diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar belakang tertentu.
Indikasi itu ditunjukkan di antaranya dengan adanya profiling lapangan terhadap sejumlah pegawai KPK.
"Laporan setebal lebih dari 300 halaman itu juga membeberkan temuan 11 bentuk dugaan pelanggaran HAM di antaranya pelanggaran terhadap hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi ras dan etnis, hak atas rasa aman, hak atas privasi, hak atas informasi publik dan, hak atas kebebasan berpendapat," kata dia.
Baca juga: Tok! MK Tolak Gugatan Pegawai KPK, Putuskan TWK Sudah Sesuai Konstitusi
Atas rentetan temuan itu, menurut AJI, seharusnya tak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak mengangkat pegawai KPK yang tak lulus TWK sebagai ASN.
Tapi malahan, Sasmito menekankan, pemimpin lembaga antirasuah memilih untuk mengabaikannya.
"Ketika hak asasi manusia disepelekan, hukum direndahkan dan ketidakadilan didiamkan maka orang-orang patut bicara. Apalagi, mereka yang memiliki otoritas tertinggi," ujar Sasmito.
Dikatakan Sasmito, Ombudsman dan Komnas HAM memiliki kewenangan terbatas.
Maka itu, tindak lanjut dari tangan Presiden Jokowi sebagai kepala negara diuji melalui polemik TWK.
"Apakah bisa menjadi panutan tertinggi melawan korupsi atau justru membiarkan para koruptor berutang budi padanya," katanya.
Sebab, tutur Sasmito, membicarakan 'borok' tes wawasan pegawai KPK bukan hanya menyoal niat menyingkirkan pegawai-pegawai yang dianggap tak bisa dikendalikan, tapi juga masa depan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana diketahui, dia mengingatkan, di antara pegawai yang disingkirkan itu adalah mereka yang membuka mata bahwa paket bansos dikorupsi.
Di antara mereka, adalah yang menyingkap proyek e-KTP digarong, yang menyeret nama-nama politikus dan pejabat.
Kemudian beberapa di antara pegawai tak lulus TWK juga mengungkap perdagangan perkara di lingkungan peradilan.
"Karena itu, jika Jokowi tak segera mengambil sikap, rasanya pantas jika publik terus-menerus curiga dan mempertanyakan keseriusan ucapan kepala negara," kata Sasmito.
Itu sebab, sebagai atasan, Presiden Joko Widodo harus mengambil alih dan mengoreksi keputusan KPK.
Kata Sasmito, momentum tersebut tepat bagi Jokowi untuk membuktikan sikap konkret dukungan terhadap pemberantasan korupsi.
"Dan menegaskan ketidaksetujuan TWK dijadikan 'alat' untuk mendepak pegawai yang justru berintegritas seperti yang pernah disampaikannya pada 17 Mei 2021," katanya.
Presiden Jokowi pernah menyatakan, dirinya sependapat dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK yang menyatakan proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.
"Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi langkah-langkah perbaikan KPK, baik individu maupun institusi, dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," kata Jokowi saat itu.
"Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan," tambah presiden.