Kedua, lanjutnya, presiden tidak memahami permasalahan utama di balik pelaksanaan TWK KPK.
"Penting untuk dicermati oleh presiden, puluhan pegawai KPK diberhentikan secara paksa dengan dalih tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan. Padahal, di balik Tes Wawasan Kebangsaan ada siasat yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berintegritas di KPK," kata Kurnia.
Ketiga, presiden tidak berkontribusi untuk agenda penguatan KPK.
Berdasarkan regulasi, menurut Kurnia, presiden bisa mengambil kewenangan birokrasi di lembaga antirasuah.
Keempat, presiden abai dalam isu pemberantasan korupsi.
Menurut dia, penegakan hukum, terlebih KPK, menjadi indikator utama masyarakat dalam menilai komitmen negara untuk memberantas korupsi.
Maka dari itu, kata Kurnia, ketika presiden memilih untuk tidak bersikap terkait KPK, maka masyarakat akan kembali memberikan rapor merah karena selalu mengesampingkan isu pemberantasan korupsi.
"Jangan lupa, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sudah anjlok tahun 2020. Ini membuktikkan kekeliruan Presiden dalam menentukan arah pemberantasan korupsi," tuturnya.
Sebelumnya, KPK menegaskan bakal memberhentikan secara hormat 56 pegawainya yang tidak lulus TWK.
Pemberhentian tidak hormat bakal dilakukan pada 30 September 2021 mendatang.
Figur beken seperti Novel Baswedan, Giri Suprapdiono, Yudi Purnomo, hingga Harun Al Rasyid termasuk dalam daftar pegawai yang bakal dipecat tersebut.
Berdasarkan aturan, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN dilakukan selama dua tahun pasca UU Nomor 19 Tahun 2019 berlaku pada Oktober 2019 lalu.
Lantas, keputusan KPK untuk memberhentikan para pegawai tak lulus TWK sebelum Oktober 2021 dinilai banyak pihak terlalu cepat.