"Sebetulnya satu data nasional, berawal sejak 2006 melalui Pasal 13 UU Adminduk No. 23 Tahun 2006. Yakni menggunakan NIK sebagai basis data untuk penerbitan paspor, SIM, NPWP, polis asuransi, sertifikat tanah, dst," kata Zudan, Minggu (26/9/2021).
Meski sudah pelan-pelan diimplementasikan, penggunaan data ini diakuinya masih belum sempurna.
Salah satu masalah penduduk Indonesia dibanding negara maju adalah kurangnya kesadaran dengan perpindahan domisili kependudukan.
Baca juga: Download Sertifikat Vaksin Covid-19 dan Cek Status di PeduliLindungi, Cukup Siapkan KTP dan Nomor HP
Banyak penduduk sudah pindah daerah, sehingga perubahan elemen data eletronik KTP-nya belum diperbaharui.
Satu Data Penting Demi Permudah Akses Masyarakat
Menurutnya Zudan, upaya ini penting untuk dilakukan agar ke depan dapat mempermudah akses masyarakat terhadap berbagai layanan publik.
Jadi, hanya dengan satu data kependudukan saja, semua platform layanan publik akan dapat menggunakan satu nomor yang sama.
“Jadi, baik data ijazah, data paspor, data KTP-el, data NPWP, data rekening bank, dan lain-lain semua sama karena sudah menggunakan satu data kependudukan. Ini yang sedang kami kerjakan,” tutur Zudan dikutip dari dukcapil.kemendagri.go.id, Selasa (08/06/2021).
Baca juga: Ingat! Ini yang Harus Dibawa Peserta SKD CPNS saat Tes, Mulai dari Hasil Swab hingga KTP
Selama ini, lanjut Zudan, setiap lembaga penyedia layanan publik memang memiliki data kependudukannya sendiri-sendiri.
Untuk itu, kata Zudan, pemerintah akan mengupayakan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, yakni dengan inovasi ke bentuk digital dengan nama Digital ID.
Pada dasarnya, Digital ID ini akan memindahkan informasi data KTP dari blangko fisik menuju digital dan dapat disimpan di handphone (HP) penduduk.
Pihaknya kemudian dapat melakukan tracking penduduk non permanen berdasarkan pergerakan HP penduduk yang berisi Digital ID tersebut.
“Misalnya HP itu dalam satu tahun bertempat tinggal di wilayah Sumedang, namun KTP-elnya beralamat di Sukabumi. Ini bisa disimpulkan bahwa penduduk tersebut menjadi penduduk non permanen di Sumedang. Secara agregat dan makro hal ini bisa dilakukan untuk mengetahui perbedaan jumlah penduduk Sumedang secara de facto dan de jure,” kata Zudan.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)