Poin kedua, kata Gufron, adalah belum dijalankannya reformasi sistem peradilan militer.
Selama peradilan militer belum direformasi, kata dia, maka selama itu pula proses reformasi TNI belum selesai.
Reformasi peradilan militer, kata dia, sesungguhnya adalah mandat dari Pasal 65 Ayat (2) UU Nomor 34/2004 tentang TNI.
Selain itu, kata dia, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen.
Upaya mengubah peradilan militer, kata Gufron, adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten {Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945}.
Baca juga: LDII Apresiasi TNI Tetap Setia Jaga NKRI: Tidak Tergoda Ambil Alih Kekuasaan
"Konsekuensi dari penerapan asas hukum tersebut adalah bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum perlu diadili dalam peradilan yang sama dengan warga negara lain yang melakukan tindak pidana umum, yakni melalui mekanisme peradilan umum," kata dia.
Poin ketiga, kata Gufron, adalah restrukturisasi Komando Teritorial (Koter).
Restrukturisasi Koter, kata dia, adalah salah satu agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformasi 1998.
Gufron mengatakan restrukturisasi ini sejatinya juga telah diamantkan oleh UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mensyaratkan kepada otoritas politik untuk melakukan restrukturisasi Koter yang penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.
Restrukturisasi Koter, kata dia, juga bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara.
Baca juga: Isyarat Langit, Andika Panglima TNI?
"Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara terpadu dan lebih terintegrasi," kata Gufron.
Poin keempat, lanjutnya, kembalinya TNI di jabatan pemerintahan sipil.
Reformasi politik setelah 1998, kata dia, mensyaratkan mensyaratkan penghapusan peran sosial politik TNI dan salah satu cerminnya adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan politik seperti di DPR, Gubernur, Bupati, atau jabatan di kementerian dan lainnya.
Sejak UU TNI disahkan, kata dia, militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan.