Point ketiga, lanjut Gus Halim, yaitu pembangunan kewilayahan yang terdiri sanitasi permukiman keluarga miskin dan miskin ekstrem, sarana dan prasarana transportasi permukiman keluarga miskin dan miskin ekstrem.
Poin keempat, adalah pendampingan desa dengan fokus RKPDes dan APBDes untuk penanganan warga miskin dan miskin ekstrem sesuai dengan RPJMN 2020-2024 sekaligus melakukan pendampingan.
"Point kelima yaitu kelembagaan berupa Penguatan posyandu untuk keterpaduan layanan sosial dasar karena fungsi posyandu sudah melebar," kata Mendes.
Dia mencontohkan, penanganan kemiskinan ekstrem di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Jumlah warga desa di daerah tersebut ada 1.035.416 jiwa, dengan warga miskin ekstrem 96.837 jiwa dengan pembagian kategori I sebanyak 14.059 jiwa dan kategori II 82.778 jiwa
Kemudian, untuk keluarga miskin ekstrem, ada 36.158 keluarga dan berdomisili di 418 desa dari 419 desa. Artinya, kata Gus Halim, bahwa hanya ada satu desa di Kabupaten Bojonegoro yang tidak ada warga miskin ekstrem. Untuk kategori I, terdapat di 415 desa, sedangkan kategori II, terdapat di 417 desa.
Artinya, 28 kecamatan di Kabupaten Bojonegoro terdapat warga miskin ekstrem.
"Jadi kalau rekap tingkat Kabupaten Bojonegoro berdasarkan hitungan Kemendes PDTT berbasis SDGs Desa Rp 404.708.500.000," kata Gus Halim.
Data SDGs Desa
Hingga 6 Oktober 2021, sebanyak 44.520 desa atau setara 59 persen yang telah menuntaskan proses pendataan berbasis SDGs Desa.
Rukun tetangga yang telah terdata sebanyak 485.280 RT dengan 30.901.327 keluarga sebanyak 92.172.656 jiwa atau 76 dari total warga desa.
"Data dikumpulkan oleh 1.575.944 relawan pendataan desa dengan penggunaan dana desa untuk pemutakhiran data SDGs Desa Rp 1.572.553.390.689 atau setara Rp 23 juta per desa," kata Gus Halim.
Permendesa Nomor 21 Tahun 2020 menyebutkan jika desa merupakan pemilik data dasar SDGs Desa dan kepala desa wajib memutakhirkan data berbasis SDGs Desa itu.
Dana Desa