News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gejolak di Partai Demokrat

Yusril Mengaku Tak Pernah Dapat Kuasa dari Moeldoko Tangani Judicial Review AD/ART Demokrat ke MA

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Yusril Ihza Mahendra membantah dirinya mendapat kuasa dari Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko dalam mengajukan Judical Riview AD/ART Demokrat ke MA.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat Prof Yusril Ihza Mahendra membantah bila dirinya mendapat kuasa dari Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.

Hal tersebut menyikapi pernyataan Juru bicara Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yaitu Herzaky Mahendra Putra yang meyakini KSP Moeldoko berada di balik pengajuan judicial review (JR) terkait AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA).

Yusril Ihza Mahendra mengaku tidak pernah ada kuasa dari Moeldoko kepada dirinya untuk mendampingi empat orang eks kader Demokrat.

"Pak Moeldoko sih saya kenal, kenal saja. Tapi saya tidak pernah mendapat kuasa dari beliau untuk menangani perkara ini, juga tidak pernah menyodorkan 'ini Pak Yusril ada empat orang tolong dibantu'," ujar Yusril saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribunnetwork Rachmat Hidayat, Rabu (13/10/2021).

Hanya saja, Yusril tak menampik adanya kemungkinan Moeldoko sebenarnya berada di balik klien yang didampinginya saat ini.

Akan tetapi dia enggan mempersoalkan hal tersebut.

Baca juga: Kelakar Yusril: Kalau Saya Jadi Lawyer Demokrat, Saya Bisa dapat Rp 200 Miliar

Sebab itu adalah hak mereka dan bersifat privasi dari kliennya.

"Jadi Pak Moeldoko sih tidak mempunyai peranan langsung dengan saya. Tetapi bahwa dibalik empat orang itu ada Pak Moeldoko ya bisa-bisa saja dan itu hak mereka, saya nggak mau mempersoalkan dan bertanya-tanya lebih jauh hal yang bersifat privasi klien," ucapnya.

Lebih lanjut, ketika ditanya apakah pernah melakukan kontak dengan Moeldoko, Yusril menjawab pernah.

Namun, hanya sebatas obrolan sambil lalu.

Baca juga: Yusril Ihza Mahendra Bantah Pernah Diskusi soal Fee Rp 100 M Jadi Kuasa Hukum Demokrat

Seperti ketika membicarakan mengapa nama Yusril ramai dibicarakan beberapa waktu belakangan.

"Kontak atau ngomong sih ada saja. 'Gimana Pak Yusril kok ramai-ramai?' Ya saya bilang saya dengar pak Hamdan jadi pengacaranya (kubu AHY). 'Gimana pak Yusril, mau dihadapi?' saya bilang 'ya apa boleh buat saya hadapi'. Sebatas ngomong-ngomong begitu saja," katanya.

Ungkit pernah bela Ibas

Dalam kesempatan yang sama, Yusril pun membantah pernah menawarkan jasa Rp 100 miliar agar Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bisa menggandengnya sebagai kuasa hukum.

Yusril justru mengungkap ketika menangani kasus putra SBY yakni Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dirinya tak meminta uang sepeser pun.

"Tanya saja sama pak SBY. Pak SBY kan pernah minta tolong sama saya untuk menangani kasus Ibas. Terus saya minta bayaran berapa dari Pak SBY? Nol rupiah," ujar Yusril.

Kala itu, dia mengatakan Ibas sempat menanyakan perihal berapa kontrak yang bakal disepakati agar mau mendampinginya.

Namun, Yusril menolak menerima bayaran mengingat persahabatan dan kedekatannya dengan SBY.

Bahkan ketika itu menurutnya ada banyak saksi, mulai dari Maqdir Ismail, almarhumah Ani Yudhoyono, dan Amir Syamsuddin.

Baca juga: Kelakar Yusril: Kalau Saya Jadi Lawyer Demokrat, Saya Bisa dapat Rp 200 Miliar

"Ibas saja pada waktu itu menanyakan kepada saya, 'pak Yusril kita bikin kontrak deh bagaimana?' Saya bilang nggak enak lah dengan beliau (SBY), ya sudahlah ya, ini kan dasarnya persahabatan, membantu saya kepada beliau, nggak usah lah kita bicara-bicara," ucapnya.

Kasus lain pun dicontohkan Yusril, seperti kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibelanya habis-habisan.

Tak tanggung-tanggung, kala itu Yusril melawan pemerintah yang berniat mencekal HTI.

Dia menegaskan bukan dirinya pro terhadap perjuangan HTI membangun negara khilafah dan membubarkan NKRI.

Baca juga: Sengit, Adu Argumen Yusril Vs Hamdan Zoelva di Pusaran Konflik Partai Demokrat

Namun, Yusril hanya berusaha membela hak hidup mereka yang diberangus pemerintah.

"Itu saya hadapi ke pengadilan sampai ke MA dan tidak satu rupiah pun HTI itu membayar apa-apa kepada saya. Bahkan jadi banyak pertanyaan, sebenarnya Yusril ini jangan-jangan adalah pro HTI, setuju negara khilafah dan membubarkan NKRI," ucapnya.

"Saya sedikitpun tidak setuju dengan ideologinya HTI tentang negara khilafah, tapi karena hak hidup mereka, kebebasan mereka diberangus oleh pemerintah, maka saya hadapi, saya bela mereka, jadi saya cukup bayak belajar tentang hal ini," imbuhnya.

Baca juga: Benny K Harman Sebut Yusril Gugat AD/ART Demokrat Untuk Bela Kepentingan Invisible Power

Ia pun sempat menyinggung politikus Benny K Harman yang menganggap tidaak pernah belajar secara mendalam.

"Dan itu saya kira hanya orang yang memiliki sikap kenegarawanan yang bisa berpikir seperti itu. Yang model Benny Harman, jubir demokrat pemikirannya begitu-begitu saja, hanya political game permainan mereka, nggak pernah belajar dalam-dalam," katanya.

Kepentingan Invisible Power

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny Kabur Harman, mempertanyakan motif Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan Hak Uji Materiil AD/ART Partai Demokrat Hasil Konggres V Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA).

Menurut Benny, sekilas Yusril memang hanya bertindak mewakili 4 orang eks Ketua DPC Partai Demokrat yang telah memberi kuasa hukum kepadanya untuk mengajukan gugatan AD/ART Partai Demokrat ke MA.

"Namun jika ditelusuri lebih dalam (duc in altum) keempat orang itu sebenarnya tidak memiliki kepentingan langsung dengan adanya sejumlah norma dalam AD/ART Partai Demokrat yang mereka klaim bertentangan dengan UU Parpol dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Benny kepada wartawan, Selasa (12/10/2021).

Benny melihat, klaim moral yang digunakan Yusril untuk membenarkan langkah menggugat keabsahan keputusan konggres V Partai Demokrat seperti untuk memajukan demokrasi dan mendorong demokratisasi internal Parpol juga kehilangan dasar pijakannya.

Bahkan menerapkan standar ganda karena pada saat yang bersamaan partai yang Yusril pimpin, yaitu Partai Bulan Bintang malah tidak mempraktikkan nilai-nilai demokrasi yang hendak dia perjuangkan melalui perkara tersebut.

Baca juga: Benny K Harman Baca Langkah Yusril: Ingin Rebut Demokrat Secara Ilegal Atas Nama Hukum dan Demokrasi

Lantas, Benny pun mempertanyakan kepentingan mana yang hendak diperjuangkan Yusril itu.

"Pengacara Yusril patut diduga kuat tidak bekerja untuk membela kepentingan dari pihak-pihak yang telah memberinya kuasa karena memang tidak ada kepentingan nyata di sana melainkan untuk membela kepentingan dari kekuatan tertentu yang tidak tampak ke permukaan atau invisible power," ucap Benny.

Kekuatan yang tidak tampak ini, menurut Benny sebenarnya memiliki kepentingan politik saat ini.

Baca juga: 4 Poin Tanggapan Hamdan Zoelva Terkait Gugatan AD/ART Demokrat oleh Yusril Ihza Mahendra

Kemudian bersekutu dengan 4 eks ketua DPC Partai Demokrat menggunakan jasa pengacara Yusril guna memperjuangkan kepentingan politik dari kekuatan tersembunyi (invisible power) tersebut.

"Karena yang berkepentingan secara politik sebenarnya adalah kekuatan tersembunyi tersebut (the hidden power) dan bukan empat orang eks ketua DPC Partai Demokrat yang memberinya kuasa maka tidak mustahil yang membiayai jasa hukum pengacara Yusril adalah kekuatan tersbunyi tersebut," ujar Benny.

"Saya merasa terlalu besar pengorbanan dari empat orang eks ketua DPC Partai Demokrat yang telah memberi kuasa kepadanya dengan mengeluarkan dana mungkin ratusan miliar hanya untuk meminta norma-norma dalam AD dan ART PD dibatalkan dengan alasan bertentangan dengan UU Parpol dan UU MA," lanjutnya.

Baca juga: Gugatan Yusril soal AD/ART Demokrat Dianggap Tak Lazim hingga Disebut Pakai Pola Pikir Hitler

Lantas, Benny menyebut tujuan dari invisible power tersebut menyingkirkan Partai Demokrat dan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kontestasi politik menjelang hajatan politik nasional di tahun 2024 nanti.

"Partai Demokrat dan AHY oleh kekuatan ini dianggap sebagai batu sandungan atau penghalang utama untuk mewujudkan skenario gelap mereka, karena itu ia harus diganggu, disingkirkan atau diambil alih jika tidak mau bekerja sama dalam skema politik yang mereka desain," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini