TRIBUNNEWS.COM - Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri sudah resmi menjabat Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Rangkap jabatan alias ex officio ini tidak cacat hukum dan lumrah di banyak lembaga sejak dahulu kala. Pandangan ini disampaikan Plt. Sekretaris Utama BPIP Karjono Atmoharsono.
"Pemberitaan yang mempermasalahkan ex officio Ketua BRIN dengan BPIP ini akan berbeda, jika Ibu Megawati Soekarnoputri ini bukan dari Ketua Dewan Pengarah BPIP, Ketua Partai, mantan Wakil Presiden, putri proklamator, dan sebagainya," ujarnya.
Karjono yang juga ex officio Perancang Utama Peraturan Perundang-Undangan BPIP ini mengingatkan, rangkap jabatan sah secara hukum berdasarkan Pasal 1 angka (20) UU 21/2011 dan Pasal 9 UU 30/2014. Lebih jauh lagi, praktik ex officio lazim sejak awal kemerdekaan, Kabinet Kerja I atau awal demokrasi terpimpin ala Soekarno.
"Dibentuk pada 10 Juli 1959 di tengah suasana politik dalam negeri yang genting, ex officio dilakukan oleh Perdana Menteri Soekarno sekaligus menjabat Presiden," tukas Karjono.
"Praktik ex officio lantas berlanjut di era Orde Baru, pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Jokowi pada generasi milenial," imbuh Ketua Ikatan Alumni Universitas Terbuka ini.
Karjono kembali mencontohkan kelaziman ex officio di Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Energi Nasional (DEN), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
"Pak Bambang Kesowo waktu itu selain menjabat sebagai Mensesneg juga sebagai penjaga gawang peraturan perundangan NKRI. Kesemuanya sah berdasarkan peraturan dan perundang-undangan masing-masing," ulas Karjono.
Disampaikannya pula rangkap jabatan bisa dilakukan untuk jabatan fungsional dengan jabatan struktural. Antara lain hakim (pimpinan pengadilan), dosen (rektor), perancang (pimpinan tinggi), dan diplomat (pengawas).
Kembali ke ex officio Ketua Dewan Pengarah BRIN dan BPIP. Menurut Karjono, pertimbangan dan dasar hukum di atas selaras Pasal 5 huruf a UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi alias UU Sisnas Iptek. Bahwa Iptek berperan menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila.
"Di sisi lain, Pasal 48 UU 11/2019 bahwa untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk BRIN. Pasal ini dikuatkan dan diubah dengan Pasal 121 UU 11/2020 Cipta Kerja. Bahwa selain BRIN juga dibentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida). Pertimbangan hukumnya, Iptek dijalankan berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila," terang pria asal Klaten ini.
Selanjutnya, pertimbangan hukum berdasarkan Pasal 7 Perpres 78/2021 tentang BRIN dan Pasal 4 huruf b Perpres 7/2018 tentang BPIP. "Bahwa dalam melaksanakan tugas BPIP menyusun Garis-garis Besar Haluan Ideologi Pancasila (GBHIP) dan Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila. GBHIP inilah yang menjadi dasar perencanaan pembangunan nasional di bidang Iptek," tukas Karjono.
Hal lain, kredibilitas Dewan Pengarah BRIN yang diangkat Jokowi juga sudah teruji dari berbagai unsur keahlian dan kebhinekaan. "Seperti Ibu Megawati (Presiden RI ke-lima), Sri Mulyani (Menkeu), Suharso Monoarfa (Menteri-Pengusaha), Emil Salim (ekonom-cendekiawan), Sudhamek (Chairman GarudaFood Group), Adi Utarini (dosen-peneliti), Marsudi Wahyu Kisworo (Ahli IT), Tri Mumpuni (pemberdaya listrik), Bambang Kesowo, (Ahli HaKI), dan I Gede Wenten (Guru Besar ITB)," terang Karjono.
Kesimpulannya, tugas dan fungsi BPIP serta penerapan kebijakan BRIN merupakan dua sisi mata uang tak terpisahkan. Penyelerasan kebijakan Iptek wajib mendasarkan pada Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila.
"Selain Ipteknya bagus, maka Iptaqnya juga harus lebih bagus. Mari kita membiasakan apa materi yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan. Salam Pancasila," tutup Karjono.