Dalam Perpres tersebut, kata dia, ditegaskan bahwa pembangunan wilayah pertahanan di udara dalam rangka melindungi wilayah udara nasional termasuk menetapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara dan membangun Sistem Identifikasi Pertahanan Udara Indonesia dilakukan dengan peningkatan kekuatan udara.
"Mengacu Perpres 8/2021 tersebut, maka kebutuhan akan penyusunan konsep airpower guna mengakselerasi peningkatan kekuatan udara juga semakin tinggi. Sehingga dimulailah perumusan awal konsep Plan Bobcat yang disusun dengan mengacu pada dinamika geopolitik, dan dengan mengikuti perkembangan teknologi kedirgantaraan di dunia," kata dia.
Ia melanjutkan, di saat seluruh dunia tengah berjuang menghadapi pandemi covid-19 ternyata tidak menghentikan pasang surut perkembangan ligkungan strategis yang justru bergerak semakin dinamis dan tak terprediksi.
Baca juga: Panglima TNI Kukuhkan Kenaikan Pangkat Wakil KSAU dan 59 Perwira Tinggi Lainnya
Di lingkup global, lanjut dia, potensi eskalasi konflik terjadi di berbagai kawasan seperti pelanggaran gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina di sekitar perbatasan Ukraina Timur, hingga konflik persenjataan antara Palestina dan Israel yang belum pernah berakhir.
Sementara di lingkup regional, kata dia, Indonesia masih dihadapi sengketa klaim wilayah secara sepihak di wilayah Laut Tiongkok Selatan termasuk pergerakan militer Tiongkok yang dapat memicu ketegangan di kawasan.
Sementara yang terbaru, lanjutnya, AS beserta sekutunya yakni Australia dan Inggris baru saja mencetuskan AUKUS pada bulan September lalu.
Ia mengatakan pakta keamanan trilateral ini dikhawatirkan dapat meningkatkan ketegangan militer dan bahkan dapat mendorong ajang perlombaan senjata-senjata nuklir di kawasan.
Sedangkan si luar perkembangan geopolitik, kata dia, tidak dapat dilupakan juga kemajuan tekonologi militer dan perubahan taktik pertempuran yang semakin pesat khususnya di domain udara dan angkasa.
Ia mencongohkan di antaranya kecanggihan teknologi sensor, kemampuan perang elektronika, penggunaan pesawat nirawak, serta senjata presisi yang kemudian dipadukan dalam sistem jaringan tempur terintegrasi dan artificial intelligence.
Fadjar mengatakan semua hal tersebut menjadi game changer di era pertempuran modern.
Menurutnya penggabungan seluruh kemampuan tersebut dalam satu jaringan network centric warfare adalah bentuk ekosistem yang sangat kompleks.
Baca juga: Marsekal Fadjar Prasetyo dan KSAU Singapura Lakukan Pertemuan di Udara Gunakan 9 Pesawat Tempur F-16
Sebagaimana konflik Nagorno-Karabakh di akhir tahun 2020 lalu, lanjut dia, meski tampak sederhana namun sejatinya keunggulan Azerbaijan dicapai karena pembangunan ekosistem militer dengan effort yang besar serta melalui dukungan dengan concern yang sangat tinggi.
"Dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi kedirgantaraan maka terori airpower pun terus berevolusi. Adanya inovasi dan kemajuan teknologi berarti taktik dan strategi pertempuran juga harus beradaptasi," kata Fadjar.